Senin, 30 Juni 2014

IELTS WRITING TASK 1 PRACTICE

               If you are aiming to continue your study abroad, one of requirements that you need to provide is an english proficiency document. There are some tests designed to assess the abilty of english to those who live in non english speaking countries. TOEFL and IELTS are the most common ones, eventhough there are still others. Generally, TOEFL is the most preference for USA universities while IELTS is the best choice for Britain and Australia University.
            Taking an ielts test, you need to complete 4 session tasks given. They are speaking, listening, reading and writing sessions. In writing part, there are two kinds of questions, task 1 (presenting a chart, graphic, etc) and the other is task 2 (usually two side essay). Here I want to make an example for task 1 in ielts writing test with a sample answer of my own.

            The chart above shows the top 4 preferences countries for  vietnamesse students at tertiary level between 2006 and 2010 periods. In general trend, the number of students in Vietnam who want to continue their study abroad is increasing in the following year. USA became the first choice country of Vietnamese students to continue their study at tertier level during the period given.
            In 2006, USA and France accounted the similar number of student enrolment at around 4700 students. But in the following period, they showed a gap at approximately 1000 students for USA leading to France. An interesting fact was in 2009, where USA increased significantly, accounted more than doubled it accounted in 2006. During that periods (2006-2009) France only showed a slowly increase. From 2009 onward, both of them increased considerabely slightly.                Australia started at around 3000 students enrolment in 2006, then demonstrated a significant rise in the following year. In 2008, it overtook france as the better choice for Vietnamesse  student.  At the end of period given, it accounted more than triple compare to they had in 2006. Japan, however it showed a promising improvement at the end of the periods still was the lowest preferences compare to others.

Minggu, 22 Juni 2014

Cerita Sahibul Asrama

Aku termasuk tipe orang yang suka bersosialisasi. Rasanya aku mampu untuk menghabiskan waktu berjam-jam seharian untuk berdiskusi dan bercengkrama dengan teman-teman. Pembicaraannya bisa apa saja, karena topiknya memang bisa kemana aja. Mulai dari membicarakan sesuatu hal yang super serius hingga sesuatu yang tidak penting sama sekali. Mungkin aku termasuk kedalam tipe bangsa Indonesia “sejati”. Bangsa yang memiliki daya tahan yang luar biasa untuk berbicara tentang apa dan dengan siapa saja. Meminjam istilah orang medan, “berkombur”. Mungkin istilah itu adalah yang paling tepat (menurut saya) untuk mendeskripsikan karakter “sejati” bangsa Indonesia yang suka berkombur alias suka ngobrol.
Karena memiliki hobi yang satu ini (bersosialisasi), maka aku sering dan dengan senang hati mengikuti kegiatan-kegiatan yang mendatangkan banyak orang. Apakah kegiatan yang diadakan oleh suatu wadah perkumpulan (organisasi) maupun acara yang digagas dalam rangka kebersamaan, ya katakanlah acara kumpul-kumpul (reuni) dengan teman-teman seangkatan. Aku merasa gembira bisa berpartisipasi dalam bentuk kegiatan itu. Bersosialisasi dengan sahabat, kawan lama dan bukan mustahil dengan teman baru. Selain itu, saya yakin pasti ada hal-hal positif yang bisa dipelajari dari bentuk interaksi sosial ini.
Meskipun suka bersosialisasi, bukan berarti aku akan melibatkan diri dalam semua bentuk acara. Tentu saja aku harus memilih dan memfilter setiap undangan kegiatan. Aku harus  meyakinkan diri, ada manfaat yang aku peroleh baik kini atau dikemudian hari atau paling tidak kegiatan itu bermanfaat untuk lingkungan sekitar maupun pergaulan. Ketika teman-temanku mengajak touring keluar kota aku sangat bersemangat untuk turut serta, ajakan bermain futsal kuterima dengan riang gembira, atau nonton bola. Namun ketika diajak untuk sekedar nongkrong hanya untuk main truph, main kartu dan sekejenisnya, maka aku akan lebih memilih untuk tinggal dirumah saja. Kalaupun aku ikut, itu hanya sekedar ngopi barang sebentar saja dan biasanya aku pamit untuk pulang lebih duluan daripada kawan-kawan.
Untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi ini, aku tidak hanya menunggu bola, menunggu ajakan teman untuk membuat suatu acara. Tidak jarang juga aku yang aktif dan memprovokasi teman-teman untuk ikut serta dalam suatu kegiatan. Kadang ada yang berhasil, walau tidak sedikit juga acaranya kemudian batal lantaran tidak ada kawan yang mau bergabung dalam kegiatan. Adapun kegiatan yang saya sering aktif untuk menjemput bola adalah kegiatan reunian dengan teman seangkatan, terutama dengan teman-teman seangkatan sewaktu SMA.
Berbicara mengenai teman-teman seangkatan sewaktu SMA, aku memiliki dua istilah yang lebih tepat untuk memanggil mereka. Istilah itu adalah “sahabat dan keluarga”. Kurasa istilah ini tidaklah berlebihan bila kusematkan kepada mereka. Mereka lebih daripada pantas untuk mendapatkan label sebagai “sahabat dan keluarga” bagiku. Betapa tidak, mereka-merekalah yang pada masa itu selalu ada didalam kisah senang-sedih, bahagia-duka, serta menangis-tertawaku. Pada masa-masa itu, aku lebih dekat dengan mereka daripada keluarga. Begitu juga dengan mereka, juga mengalami dan menjalani hal yang sama. Kami adalah anak-anak asrama yang selama 3 tahun menjalani kehidupan secara bersama-sama. Bahkan, salah satu guruku mengatakan 9 tahun lamanya kami bersama. 3 tahun pagi, 3 tahun siang dan 3 tahun malam! Itulah waktu yang mau tidak mau, suka tidak suka harus kami jalani secara bersama-sama.
Sayangnya waktu 3 tahun di asrama adalah waktu yang teramat singkat untuk dilewati. Sebagaimana adanya pertemuan, maka diujungnya juga ada perpisahan. Maka hanya perkara waktu saja yang akan “membenarkan” perpisahan itu. Segera setelah kami tamat dari SMA dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka di titik itulah perpisahan terjadi. Sebagian teman-teman memilih kuliah di kota Banda Aceh, ada beberapa teman yang belajar ke tanah Jawa, sementara aku dan Yuli/Zia/Ossa memillih untuk “berpetualang” di bumi Sumatera Utara.
Meski tidak bisa lagi menjalani kehidupan secara bersama-sama layaknya anak asrama, bukan berarti hubungan persahabatan dan kekeluargaan kami berhenti disini. Beruntung, kami hidup di zaman teknologi IT sehingga komunikasi tetap terjaga antara satu sama lainnya. Meski tidak lagi seintens dulu, tapi cukuplah itu untuk mengingatkan akan nostalgia dan cerita yang pernah ada. Sekali-kali, tercetus ide untuk sekedar kumpul bersama dan reunian untuk kembali merasakan keakraban.
Setidaknya ada tiga kali aku menggagas dan menggerakkan teman-teman untuk melakukan reunian atau duduk bersama lalu bercerita. kesempatan pertama itu terjadi ketika di masa kuliah. Aku yang kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) memiliki jadwal libur yang lebih cepat daripada teman-teman yang ada di Banda Aceh. Saat itu aku berkesempatan berlibur di Banda Aceh, maka tak ayal aku mendesak teman-teman yang ada di Banda Aceh untuk duduk bersama dan ngopi bersama. Alhamdulillah it worked dan ramai yang datang berkumpul saat itu, sayangnya hanya teman-teman cowok saja yang berkumpul saat itu. Kesempatan kedua terjadi di bulan Januari tahun ini, juga mengambil kota Banda Aceh sebagai lokasinya. Aku yang saat itu ada keperluan seleksi di Banda Aceh, begitu selesai seleksi langsung memborbardir teman-teman seangkatan di SMA yang ada di Banda Aceh untuk duduk dan ngopi bersama. Alhamdulillah it worked juga, kali ini juga rame dan tidak ekslusif untuk teman-teman cowok saja.
         Adapun kesempatan yang ketiga terjadi satu hari yang lalu. Kalau biasanya kami berkumpul di Banda Aceh, maka kali ini sedikit berbeda. Ini sedikit lebih elit dan ekslusif, hehe. Kami memilih kota Jakarta sebagai tempat bertemu. Ide tercetus sejak dua minggu yang lalu, namun karena kesibukan masing-masing akhirnya kami belum bisa bertemu. Di akhir minggu ketiga aku berada di kota Jakarta, barulah pertemuan itu terlaksana, tepatnya di hari Sabtu kemarin.
Meskipun kali ini reuniannya tidak seramai yang biasa, kami hanyalah berlima dari enam orang yang ada di Jakarta, meski demikian cukuplah untuk melepaskan rasa rindu setelah sekian lama tidak bertemu. Bahkan ada diantara kami yang terakhir berjumpa adalah di hari perpisahan kami di SMA, lebih kurang sudah 7 tahun lamanya. Meskipun sudah terpisah selama 7 tahun, hubungan persahabatan dan kekeluargaan kami tetap tidak berubah. Kami langsung saling salam dan peluk sesama ketika berjumpa untuk pertama kalinya. Tanpa ada teks sama sekali, kami kembali membacakan memori, kenangan dan nostalgia lama dengan sangat fasih dan tanpa berkurang sama sekali nilainya. Saling menertawakan kelucuan masa lalu, menirukan gaya guru yang dianggap lucu dan sebagainya. Aku bahagia sekali melewati momen itu. Pikiranku sejenak melayang-melayang kembali ke masa-masa ketika tinggal di Asrama. Ah, hidup di asrama dengan teman-teman seperti mereka sungguh Indah.
Namun, sang waktu jualah yang memisahkan kami kembali. Ari, satu-satunya diantara kami reunian itu yang sudah berkeluarga pamit duluan dan undur diri. Tidak lupa juga Ari secara tersirat mengajak kami berempat untuk berlomba mengikuti jalurnya. Untuk segera berkeluarga, hehe.  Hari pun semakin sore, dan matahari hendak kembali ke peraduannya. Maka segera setelah Ari mengundurkan diri, kami yang lainya juga kembali. Satu hari memanglah teramat singkat untuk bercerita, karenanya kami berencana kembali untuk membuat pertemuan serupa kedepannya. Mudah-mudahan hajat itu kembali terlaksana. Amin.
Untuk menutup cerita, aku tiba-tiba teringat dengan potongan lirik lagu berjudul “doa perpisahan” yang dipopulerkan oleh grup nasyid Brother. Lagu ini sering kami nyanyikan bersama-sama di asrama menjelang pulang kampung dalam rangka libur puasa dan semesteran. Potongan syair nan menyentuh ini yang membuat kami tetap kuat bahwa kami bisa saling mendoakan satu sama lainnya.
Pertemuan kita di suatu hari
Menitiskan ukhwah yang sejati
Bersyukurku ke hadirat Ilahi
Di atas jalinan yang suci
          Namun kini perpisahan yang terjadi
          Dugaan yang menimpa diri
          Bersabarlah diantara suratan
          Ku tetap pergi jua
Kan ku utuskan salam ingatanku
Dalam doa kudusku sepanjang waktu
Ya Allah bantulah hambaMu
Mencari hidayah daripadaMu
Dalam mendidikkan kesabaranku
Ya Allah tabahkan hati hambaMu
Di atas perpisahan ini.


Minggu, 15 Juni 2014

Jakarta negeri Batavia



Bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, Jakarta hanyalah  sesuatu yang biasa-biasa saja.  Ia bukanlah sesuatu yang “wah” dan begitu luar biasa. Bagi mereka yang berpikiran seperti ini, Jakarta is just a city, an ordinary city, sebagaimana halnya dengan kota-kota lainnya yang ada di Indonesia. Mungkin yang membedakannya  dengan kota lainnya adalah statusnya sebagai ibukota Negara, selebihnya tidak ada yang berbeda, tidak ada yang yang begitu  luar biasa. tidak ada yang istimewa.
Namun tidak begitu halnya denganku. Bagiku Jakarta merupakan sesuatu yang istimewa. Ia begitu megah, begitu “wah”. Jakarta luar biasa! Ia tidak bisa dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Indonesia. Apalagi dengan kota kelahiranku. Oops, maaf. Kampung kelahiranku lebih tepatnya! Jakarta simbol kebesaran, kemajuan dan kemodernan. Jakarta adalah tempat tempat orang-orang penting berkumpul dan bertukar pikiran. Presiden, Wakil Presiden, para menteri dan juga pejabat negeri lainnya berdomisili.
Jakarta disebut sebagai kota metropolitan dan (mungkin) segera menjadi kota megapolitan. Disana kau dengan mudah gedung-gedung bertingkat, perusahaan-perusahaan raksasa, hotel-hotel mewah, pusat perbelanjaan, wahana refreshing dan rekreasi, gedung olahraga serta apartemen. Ah, apartemen! Rasanya kelu ketika aku harus melafalkan frasa ini. Dalam teoriku, juga orang-orang di kampung halamanku, apartemen adalah kemewahan dan kemodernan yang berasal dari negeri seberang laut nun jauh disana di bumi Eropa dan Amerika. Makanya jangan heran, susah sekali aku  melafalkan istilah ini. Secara lidahku, lidah orang kampung yang udik.
Mari kuceritakan sedikit kawan tentang aku punya tanah kelahiran. Tanah kelahiranku, juga tanah kelahiran kedua orangtuaku serta tanah kelahiran kedua orang tua dari keduanya merupakan sebuah desa kecil dan terpencil nun jauh di pelosok sumatera. Berbatasan langsung dengan samudera hindia dan gunung rimba yang menurutku termasuk kedalam gugus bukit barisan. Kami tidak terbiasa dengan istilah kemodernan terutama istilah barat. Lidah kami hanya terbiasa melafalkan istilah blang (sawah), ateung (pematang), meugoe (bercocok tanam), kauri/kanuri (pesta/hajatan), serta istilah-istilah sederhana lainnya. Nah apartemen? Entahlah, kami tidak tahu itu apa? Bagaimana bentuk maupun rupanya? Jangankan untuk membayangkannya, melafalkannya saja kami sulit.
Kembali ke Jakarta, tempat dimana kau bisa melihat jalan layang, lintasan  tol, kereta api dan segala kemegahan yang ada di dalamnya. Alhamdulilah, saat tulisan ini ditulis, aku sedang berada di Jakarta. Aku bersyukur sekali bisa berada di tempat ini, dimana aku bisa menyaksikan peradaban kemodernan di negeri ini dengan mata kepala sendiri. Karena aku berasal dari kampung, maka sampai ke Jakarta merupakan sebuah kebanggan tersendiri karena tidak banyak orang yang dari kampungku bisa mencapai tempat ini. Ah, lupakan segala masalah yang muncul di TV terkait Jakarta. Kemacetan, banjir, kepadatan penduduk dan lainnya. Aku tidak mau pusing dengan perkara itu, aku ingin menikmati kehidupanku saat ini di ibukota, Jakarta!
Well, sebenarnya ini bukan kali pertama aku berkunjung ke Jakarta.  Di penghujung tahun 2011 yang lalu aku berkesempatan berkunjung ke kota yang dikenal dengan Batavia ini. Kesempatan ini kuperoleh ketika timku Horas berhasil menjadi perwakilan Universitas Sumatera Utara (USU) untuk mengikuti lomba simulasi bisnis di tingkat nasional yang diadakan oleh sebuah perusahaan multi nasional terkenal yang bergerak di bidang food&beverage serta health&nutrition dan berkedudukan di Prancis. Aku sangat ingat dan akan selalu ingat (Insya Allah) akan pengalaman manis dan sekaligus “katrok” ketika mengikuti lomba ini. Kami, semua peserta dari berbagai perguruan tinggi di nusantara dikarantinakan di hotel Menara Peninsula – salah satu hotel bintang empat di Jakarta.  
Me and My Horas teammate
Setiap peserta akan diberi jatah satu kamar untuk dua orang. Aku dan teman  mendapat jatah kamar yang kalau tidak salah berada di lantai 18 dari total 24 lantai. Sebagai orang udik dan ndeso, ini adalah kali pertama aku berada di hotel mewah seperti ini. Berbekal cerita punya cerita, aku sedikit mengetahui bahwa kamar-kamar di hotel berbintang dilengkapi dengan kartu (acces card) yang digunakan untuk membuka dan menutup pintu. Setiap pelanggan, dilengkapi dengan kartu itu.
Pemandangan kota Jakarta dari hotel Menara Peninsula

lucunya pengetahuan minim tentang hotel mewah ala orang ndeso ini memang berhasil membawa kami masuk ke dalam kamar kami dengan menggunakan acces card tersebut, tetapi tidak mampu menyelamatkan kami dalam kegelapan. Hampir lima menit lamanya kami berkutat untuk menghidupkan lampu kamar. Menekan semua saklar-saklar yang ada. Berulang-ulang kami menekan tombol saklar on-off di setiap penjuru yang ada. Namun hasilnya nihil! Ruangan kami masih gelap gulita! 
Mentoring dengan alumni tahun sebelumnya
Dengan menggunakan penerangan seadanya dari ponsel kami mencari-cari setiap sudut ruangan yang kami anggap merupakan titik sentral untuk menyalakan lampu. Kembali kami menekan tombol-tombol yang ada berulang-ulang namun tak jua membawa perubahan. Kami panik, malu sekaligus terharu, kami menyerah dan hendak keluar kamar untuk meminta bantuan. Sebelum membukakan pintu, aku melihat ada kotak kecil berada disamping pintu, bentuknya hampir sama seperti box yang ada diluar kamar yang digunakan untuk menggesek kartu untuk membukakan pintu. Aku berpikir, mungkin ini adalah tempat peletakan access card. Kucoba untuk memasangkannya (meletakkan) kartu itu ketempat yang tersedia, dan taaraaa, lampu pun menyala! Hahaha, dasar orang katrok!
Gaya dulu di Lift sebelum lomba
Karena waktunya perlombaannya singkat, aku tidak bisa memanjakan diri untuk berkeliling Jakarta. Begitu selesai acara, kami langsung bertolak ke Sumatera Utara. Ah, padahal aku ingin sekali ke Monas, Mesjid Istiqlal, Bundaran HI, Taman Mini, Kota Tua dan lainnya. Aku hanya bisa melihat tugu Monas dari kejauhan. Rasanya janggal sekali ke Jakarta tanpa berkunjung ke monumen ini. Tapi ya sudahlah, semuanya sudah di atur, tiket pulang-pergi kami sudah disiapkan panitia. Dalam hati aku berdoa kepada yang kuasa, suatu saat nanti aku akan kembali ke Jakarta. Kan kukunjungi Tugu Monas, akan kurasakan bagaimana rasanya shalat di Mesjid Istiqlal. Suatu saat nanti ya Allah, Amin!
Bersiap meninggalkan Jakarta
Allah menjawab doaku 3 tahun kemudian. Tepatnya di pertengahan tahun 2014 ini, aku kembali ke Jakarta untuk kedua kalinya. Kali ini untuk waktu yang lebih lama, jadi aku bisa lebih leluasa untuk mengunjungi “a must”  ketika datang ke Jakarta. Insya Allah kini aku lebih siap, meski bawaan ndeso ku masih melekat. Mudah-mudahan semuanya berjalan sempurna. Ini saja yang bisa kuceritakan dulu. Karena ada hal lainnya yang harus kulakukan disini. Apalagi kalau bukan untuk belajar. Belajar dan belajar. hanya itu cara yang aku tahu untuk menjadi lebih baik (kata Alif - Rantau Satu Muara). Untuk kamu yang disana ingin mendengarkan cerita-ceritaku, kuharap sabar untuk menunggu!




Minggu, 08 Juni 2014

The power of “GALAU”



GALAU! Iya, GALAU!  Saya jamin anda tidak silap dalam melihat dan dalam mengeja. Sengaja istilah tersebut yang buat dalam formal huruf kapital (caps lock) dengan tujuan sebagai   stressing/signal word” untuk lebih mudah ditemukenali. Pembaca tentu paham apa yang dimaksudkan dengan frase dalam tanda kutip tersebut. maksudnya tiada lain dan tiada bukan adalah untuk penanda bahwa topik yang akan kita bahas kali ini mengenai perihal GALAU tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin bertanya kepada rekan pembaca sekalian. Apa yang anda bayangkan dalam benak anda ketika mendengar kata galau? ikiran apa yang terlintas dalam kepala ketika membaca istilah galau? adakah dia memiliki pesan positif, atau malah sebaliknya, berkonotasi negatif. Apakah dia berkaitan dengan perasaan dan hati? adakah ia berkaitan dengan mood, semangat dan suasana hati? adakah dia sesuatu yang dihindari, atau sebaliknya malah dinanti-nanti?
Jika banyak dari sekian pertanyaan yang diajukan diatas dijawab dengan kata “ya”, maka jawaban yang anda berikan tidaklah sepenuhnya salah. Tidaklah sepenuhnya salah disini dikarenakan jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya benar. Karena ia tidak sepenuhnya benar, maka berarti ada sebagian yang salah. Jika hanya ada sebagian yang salah, berarti ada bagian dari jawaban itu benar, karenanya dia tidaklah sepenuhnya salah. Haha, ribet ya? Namanya saja lagi galau (>_<)
Mungkin sebagian besar pembaca beranggapan bahwa pengertian galau yang dimaksudkan disini adalah suatu bentuk kegelisahan hati, ketidaktenangan serta ketidaktentraman jiwa. Bentuk dan alasannya bisa sangat beragam. Bagi anak contohnya, dia bisa galau lantaran tidak dibelikan mainan yang diinginkannya. Buat pedagang, harga barang yang kian membumbung tinggi menjadikannya gelisah sepanjang hari. Para pelajar yang sedang menunggu pengumuman kelulusan juga mengalami ketidaktenangan ini. Bisa saja karena patah hati dikarenakan putus atau ditolak oleh pacar/calon pacar - biasanya kasus ini terjadi pada kaum ababil, hehe J
Anggapan tersebut tidaklah salah, sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pemikiran tersebut pada beberapa bagian ada benarnya. Galau (adjective) atau kegalauan (noun) merupakan sesuatu bentuk expresi diri terhadap suasana hati yang sedang murung dan gelisah. Maka tidak heran, orang yang sedang galau terlihat bimbang, gelisah dan peragu. Wajahnya tampak murung –  perumpamaannya digambarkan dengan semboyan “makan tak enak, tidur tak lolap”. Orang yang sedang galau sangat mudah tersinggung, tidak fokus dan sangat bisa dipastikan memiliki performansi dan produktivitas kerja yang rendah atau mungkin sangat renda. Namun, bukanlah galau seperti itu yang kita bicarakan. J
Galau memang hadir ketika suasana hati tidak menentu. Sudah pasti ketidakmenentuan ini dikarenakan tidak (lebih tepatnya belum) terealisasinya hajat yang ada didasar hati. Hajat  apa saja, apakah dia yang masih tersembunyi, sudah terucapkan dan dilakukan (diusahakan). Dalam kaidah keilmuan, setiap pertentangan/kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi disebut dengan masalah (problem). Semua orang pasti ingin menghindari masalah, karena masalah hanya membuat susah dan membuat kita menjadi lemah. Lemah adalah bentuk ketidakberdayaan akibat dari sebuah kegalauan. Hebatnya galau yang kita bicarakan ini malah bekerja sebaliknya, alih-alih membuat kita menjadi lemah, dia malah menjadi sumber kekuatan diri dan kepercayaan diri sehingga  kita bisa bangkit dan tersenyum menantang hari.
Lah kok bisa? Seharusnya galau kan membawa masalah, lalu darimana ceritanya dia bisa menjadi sebuah kekuatan diri. Jawabannya sangat sederhana, karena GALAU yang diceritakan disini merupakan kependekan dari “ GOD ALWAYS LISTENING ALWAYS UNDERSTANDING ”. seperti tagline salah satu perusahaan asuransi ya? Hehe, serius ga ada maksud buat prospek, peace J

Iya benar sekali, God Always Listening Always Understanding (GALAU) adalah kunci terakhir sekaligus menjadi the most powerful weapon, senjata paling ampuh untuk membuat kehidupan kita menjadi lebih bersemangat lagi. Memang sudah fitrahnya, kita mengingat Tuhan ketika kita sedang lemah, sedang gelisah, sedang berada di dalam kekalutan jiwa. Saat titik inilah, kita dekat dengan Tuhan. Semakin kita dekat dengan Tuhan, semakin mesra kita berhubungan dengannya, maka semakin seringlah kita berkeluh kesah dengannya. Dialah Allah, sang maha Sami’un,  yang selalu mendengar doa-doa dan keluh kesah hambanya, dan dia sudah menjanjikan “Udulni, astajiblakum”. Berdoalah kamu, berkeluh kesahlah kamu, maka aku akan mendengar dan menjawab segala keluh kesahmu.
Sayangnya seiring dengan jawaban keluh kesah tersebut membuat kita menjadi lebih kuat. Dengan kekuatan itu, semangat itu, kepercayaan diri itu, kita bukanlah lagi menjadi makhluk yang lemah. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit dan perlahan kita mulai menjauh dan enggan berkeluh kesah dengan Tuhan. Semakin kita jauh dari Tuhan, maka semakin sedikit pancaran energi yang kita dapatkan, lalu kembali kepada keadaan yang lemah tidak berdaya kembali. Lalu siklus kembali berulang, kita mulai membutuhkan Dia kembali, demi mendapatkan kembali pancaran energi. Muhammad Nursani dalam bukunya Mencari Mutiara di Dasar Hati  membuat sebuah kutipan yang sangat menyentuh sekali “Sumber kelemahanku adalah kekuatanku, sementara sumber kekuatanku adalah kelemahanku”.