Selasa, 17 September 2013

Nyan Katroeh Dara Baro !

Puncak dari sebuah pesta pernikahan ialah saat rombongan linto-baro tiba. Pada masa itu, banyak “ritual adat dan prosesi sakral” diketengahkan. Beberapa ragam budaya muladi dari tari ranup lampuan, peutroen taweu, rah gaki, ratoh hingga pantun berbalas pantun dipertunjukkan.
      Pun begitu juga halnya dengan kenduri yang diadakan di rumahku. Klimaks acara yang dinanti pun tiba. 17.54, demikian angka yang ditunjukkan oleh benda yang melingkar dilengan kiriku, tak kurang tak lebih. Kala itu, diujung jalan mulai tampak sekawanan orang berjalan bergerombolan bak “pawai karnaval”. Mereka berjalan pelan, bahkan sangat pelan seakan-akan mereka tak pernah sampai ke tujuan. Di barisan paling depan, terlihat kedua mempelai berjalan penuh irama, sambil sekali-kali menampakkan senyum bahagia. Keduanya berjalan beriringan di bawah payung berwarna. Mungkin, secara filosofis itu dimaksudkan sebagai simbol agar keduanya bisa menjadikan pernikahan ini sebagai “payung” yang mampu “melindungi” bahtera keluarga mereka dari ancaman “panas, hujan, badai, maupun ombak besar” yang mungkin menghadang. Warna itu sendiri bisa diartikan, supaya keduanya selalu siap dan bersemangat dalam membina dan mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh warna.
Linto-baro beserta rombongan
     Begitu rombongan tersebut hendak memasuki pekarangan, terlebih dahulu mereka “dihadang” oleh delapan anak kecil yang mengenakan pakaian seragam berwarna kuning keemasan, kecuali “sang ratu” yang mengenakan seragam merah jambu. Anak-anak itu, pakaiannya dilengkapi ornamen berupa kain songket yang diselempangkan menyilang pada masing-masing dada mereka. Tak ketinggalan pula sanggul yang dihiasi pernak-pernik khas aceh melekat indah di masing-masing kepala. Siapakah mereka? Tak lain dan tak bukan merupakan para penari cilik yang siap menampilkan kesenian tari ranup lam puan untuk menyambut linto-baro beserta para rombongan. Diiringi musik yang sudah dipersiapkan, mulailah mereka unjuk kebolehan.
para penari siap untuk beraksi
       Tak sulit bagiku untuk menyebut nama penari itu satu per satu. Alasannya sungguh sederhana, karena kami (mereka dan aku tentunya) hidup bertetangga. Raudhah misalnya, rumahnya tepat disamping kanan rumahku, bahkan dinding rumah kami bersisian pula. Demikian pula Masda, rumahnya persis didepan rumahnya si Raudhah, kurang lebih 8 meter kedua rumah itu terpisah. Sementara Uswah, rumahnya di sebelah kanan rumahnya si Raudhah, namun tak seperti halnya dengan rumahku dimana dinding rumah kami bersisian, rumah mereka dipisahkan oleh ruas atau badan jalan. Indah dan “sang ratu” Wulan, keduanya merupakan sepupuan sekaligus merupakan cucu dari pemilik rumah yang berada di depan rumahku, agak serong ke kiri sedikit. Adapula si Wira, sebagaimana halnya Indah, juga bersepupuan dengan si Wulan. Jika hal itu tidak cukup bukti untuk mengatakan kami bertetangga, baiklah kucoba terangkan saja bahwa rumah Wira ada di arah belakang rumahku, agak serong kiri juga sedikit. Praktis hanya Nelvi dan Vivi saja yang tidak demikian (baca : bertetangga), namun untuk memperpanjang sedikit cerita, ternyata rumah  Nelvi bersisian pula dengan rumahnya Wira serta berdekatan dengan rumahnya Vivi. Itu berarti Vivi dan Nelvi bertetangga. Nelvi bertetetangga pula dengan Wira, sementara Wira adalah jiranku. Kesimpulannya sederhana, bahwa mereka (para penari itu) bulat-bulat merupakan tetanggaku.
    Umur mereka memang masih sangat belia, tak berarti pula penampilannya biasa-biasa saja. Sungguh, bakat mereka sangat luar biasa. Menari, melenggak lenggok bak penari india. Semuanya menari menyambut sang linto-baro dengan penuh suka cita, meski bayaran yang mereka terima mungkin tidaklah seberapa. Menyaksikan kenyataan ini, aku kemudian berniat di dalam hati, kuberi mereka pelatihan bahasa Inggris pasca pesta ini. Meski aku tidak bisa dalam jangka waktu yang lama, paling tidak itu ada walau hanya untuk sekali-dua.
    Akhirnya tibalah rombongan di depan pintu. Nyan katroeh dara baro ! demikian seruan terdengar dari dalam rumahku. Disambut para encik dan endatu, dituntunlah mereka menuju ruang tamu. Linto-baro dipapah secara perlahan, lalu keduanya disandingkan di atas pelaminan. Tak lupa kuarahkan lensa kamera ke arah keduanya, sembari mendapatkan fokus kamera, dalam hati kemudian aku menyisipkan doa “nanti, Insya Allah aku akan seperti ini juga, Amin”
      Sebelum mengakhiri cerita, aku ingin membuat sebuah pengakuan yang nilainya besar-kecil. Kecil untuk sebuah ungkapan, besar untuk sebuah kejujuran. Aku memang harus mengakui bahwa tulisan ini terinspirasi dari cerita dia, bahkan dengan judul yang hampir relatif sama. Meski, ceritaku masih kalah kelas dibandingkan dengan punyanya, aku harap tidak menyurutkan tekadku untuk menceritakannya. Aku memang masih amatiran,  dimana tulisanku belum terstruktur. Namun disinilah aku belajar, untuk mencari, mengembangkan, dan membentuk dan jati diri. Aku juga berdo’a, semoga aku bisa belajar langsung dari dia yang menginspirasi cerita ini melalui tulisannya. Kedengaran aneh memang, tapi apa salahnya aku mencoba atau hanya sekedar menitipkan doa. Bahwa aku ingin menulis bersamanya. Menulis apa saja, tentang kata, rasa atau bahkan cinta. Semoga, bila dia membaca tulisan ini dapat tersenyum bangga, bukan sebaliknya yang menyinggung perasaannya. Sungguh aku tak berniat melakukan itu. Sebelum aku lupa, sekali lagi aku ingin memberitahukannya, bahwa tulisannya sudah berjasa. Bolehlah dia berbangga hati, kalau tulisannya itu mampu menginspirasi, karena menulis memang untuk berbagi.