Jumat, 22 April 2016

Geulayang tunang di Adelaide

Telah tinggal di kota Adelaide selama lebih dari satu tahun guna melanjutkan pendidikan, membuat saya sedikit banyak mengenal seluk beluk kota Adelaide. Adelaide merupakan ibukota provinsi South Australia dimana lebih dari 75 persen warganya tinggal di kota ini. Sebelum masa kependudukan koloni Inggris, Adelaide merupakan rumah bagi suku Kaurna - salah satu suku pribumi atau penduduk asli Australia. Namun, setelah koloni Inggris berkuasa, kota ini kemudian didiami oleh bangsa kulit putih yang kemudian menjadi salah satu kontributor utama pembangunan daerah ini. Penamaan kota Adelaide berakar dari nama permaisuri King William IV, Queen Adelaide.

Selain dikenal dengan sebutan “the City of Churches”, Adelaide juga dijuluki dengan nama “kota seribu festival”. Penyebutan ini dikarenakan terdapat begitu banyak festival internasional nan bergengsi diselenggarakan di kota Adelaide. Beberapa festival itu, diantaranya adalah Adelaide Fringe Festival, WomAdelaide, OzAsia Festival, Indofest, Royal Adelaide Show dan Adelaide Kite International Festival.

Akhir pekan lalu, saya bersama teman-teman pelajar internasional University of South Australia berkesempatan untuk menikmati Adelaide International Kite Festival. Festival ini merupakan acara tahunan dan termasuk sebagai salah satu festival layang-layang terbesar di dunia. Pergelaran ini tepatnya diadakan di pantai Semaphore yang berjarak sekitar 17 km dari pusat kota Adelaide. Untuk menuju kesana, kita bisa menggunakan transportasi umum bus dan kereta api ataupun menggunakan kendaraan pribadi.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 40 menit dengan menggunakan bus transpotasi umum, akhirnya saya dan teman-teman tiba di lokasi festival. Kesan pertama yang saya rasakan saat tiba di lokasi adalah suasana keramaian yang sangat meriah. Ribuan orang dari berbagai latar belakang negara dan budaya berkumpul untuk memeriahkan festival ini. Dermaga terlihat penuh sesak oleh keramaian. Semuanya berkumpul bersama demi melihat perayaan layang-layang ini dari jarak dekat.

Selain pertunjukan layang-layang sebagai atraksi utama, lokasi tempat penyelenggaraan festival ini juga  menyediakan berbagai pilihan wahana bermain. Tak ketinggalan kios-kios kecil yang menjajakan dagangan mulai dari layang-layang, kerajinan, mainan anak-anak hingga produk kreatif lainnya. Rumah makan dan cafeteria yang menjual beragam jenis makanan dan minuman juga jadi unsur utama pendukung utama kemeriahan festival ini. Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa pada festival yang berlangsung 3 hari ini, telah terjadi transaski perdagangan bernilai miliyaran rupiah.


Berada di tengah-tengah festival ini, ingatan saya kembali ke masa-masa kecil dahulu saat tinggal di gampong. Di gampong saya Damartutong - Aceh Selatan, biasanya diadakan geulayang tunang usai musim panen. Kompetisi ini, selain dijadikan ajang rekreasi dan hiburan, juga dijadikan sebagai ajang silaturahmi dan konsolidasi awak gampong. Bagi saya, terlepas dari sentimen pribadi dan kecintaan saya terhadap gampong sendiri, festival geulayang tunang di gampong jauh lebih seru dan menegangkan dibandingkan dengan The Adelaide International Kite Festival. Semarak dan keriuhan geulayang tunang ini lebih terasa terutama saat hitungan mundur untuk menentukan pemenang dilakukan. Belum lagi menghitung kegaduhan yang ditimbulkan saat satu per satu layang-layang putus atau i’klep (terjatuh karena kehilangan dorongan angin) yang berarti menjadi ladang rezeki sekaligus kompetisi bagi anak-anak yang mengejarnya.

Saya berharap semoga suatu saat nanti geulayang tunang bisa menjadi pergelaran kelas dunia yang diharapkan bisa menjadi salah satu roda penggerak ekonomi masyarakat lokal sekaligus ajang promosi kedaerahan. Dengan strategi promosi yang baik, kerjasama yang solid antara masyarakat, pemerintah dan pihak terkait, persiapan yang terencana dan matang, maka ajang geulayang tunang kelas dunia ini bukanlah sesuatu yang mustahil kita untuk diwujudkan. Tentunya tanpa mengabaikan konten kearifan lokal dan nuansa keislaman yang telah menjadi identitas gampong dan nanggroe.


The International Geulayang Tunang, semoga!

NB: Versi media cetak online bisa diakses di sini