Minggu, 25 Mei 2014

Man Proposes, God Disposes !

           Sebagai makhluk sosial, manusia tidak pernah bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia yang lain. Aristoteles mengistilahkan keadaan ini dengan terminologi zoon politikon yang artinya manusia itu adalah makhluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam tatanan masyarakat. kehidupan dalam kebersamaan itu berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan itu dapat berupa sebuah relasi atau interaksi.
 Sebuah interaksi akan menghasilkan suatu menghasilkan sebuah umpan balik yang saling berlaku antara pihak-pihak yang melakukannya. Yang dimaksudkan dengan umpan balik disini adalah adanya kecenderungan pihak-pihak tertentu untuk mengikuti atau mengadopsi gaya hidup, karakter, kepribadian dan cara pandang pihak yang lain. Demikian juga dengan pihak yang lain, juga memiliki kecenderungan yang sama untuk meniru atau mengimitasi kebiasaan dan kepribadian yang kita miliki.
Adanya prinsip imitasi atau kecenderungan untuk menyamakan diri dengan makhluk sesamanya dalam sebuah komunitas adalah bukti bahwa manusia adalah makhluk berkehendak. Kehendak ini atau dalam bahasa orang awam sering diterjemahkan sebagai nafsu atau hawa nafsu. Hawa nafsu atau kehendak ini adalah kodrat yang dihadiahkan oleh sang Ilahi kepada makhluk yang bernama manusia, dan itu merupakan fitrah-nya sebagai manusia sejati.
Dengan adanya kecenderungan atau kehendak ini, maka tidaklah mengherankan mengapa dalam realitas kehidupan sosial kemasyarakatan, kita mengenal istilah trend atau gaya hidup (life style). Gaya  hidup merupakan sebuah pola yang menggambarkan kehidupan seseorang baik sebagai entitas tunggal dirinya sendiri, maupun sebagai bagian dari masyarakat banyak. Di awal-awal kemunculan peradaban manusia, gaya hidup hanya sebatas pada proses pemenuhan kebutuhan dasar saja, misalnya kebutuhan akan makanan, kemudian sandang dan dan kemudian berkembang lagi menjadi kebutuhan papan (tempat tinggal). Namun seiring dengan berlalunya waktu, gaya tersebut menjadi berubah. Ia tidak lagi hanya sebatas memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan, tetapi lebih jauh lagi, kini gaya hidup menjelma sebagai status sosial.
Dari terminologi status sosial, kemudian kita bisa mengenali istilah strata sosial. Strata sosial ini mungkin hampir mirip dengan istilah kasta-kasta seperti yang ada dalam kepercayaan tempo dulu. Hal inilah yang kemudian membuat kita mengenal istilah masyarakat kelas atas, menengah dan masyarakat kelas bawah. Pembagian istilah ini dapat terjadi atas berbagai faktor, namun yang paling sering dan umum tentu saja karena faktor ekonomi.
Kembali lagi ke cerita tentang manusia yang memiliki kehendak, maka kecenderungan yang terjadi adalah manusia dalam realitas sosialnya ingin menjadi masyarakat kalangan atas. Masyarakat yang memiliki nilai dan kedudukan sosial yang tinggi dalam bermasyarakat. Sebuah nilai yang menjadikan ia menjadi terpandang dan dihormati dalam kehidupan sosial. Untuk memiliki nilai ini, kemudian setiap anggota masyarakat berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik, yang terpandang, yang terhormat dan yang “ter-ter” lainnya. Berbagai macam usaha dan cara yang dilakukan untuk mencapai itu. Banyak diantara mereka yang melakukannya dengan cara-cara yang tepat dan terhormat, tetapi tidak sedikit juga yang nekat dan menghalalkan segala cara demi tercapainya status yang diinginkan tersebut.
kita tidak membahas cara-cara orang yang nekat dan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan yang diinginkannya. Tetapi, sebaliknya kita ingin membahas tentang orang-orang yang ingin memperbaiki tingkatan hidupnya ke arah yang lebih baik, dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan terhormat. Cara-cara tepat dan terhormat yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah cara-cara yang sesuai dengan aturan, perundangan dan norma-norma yang berlaku. Orang-orang pada tipe ini tentu saja merupakan orang pekerja keras, serius, sabar dan gigih untuk memperjuangkan sesuatu yang layak diperjuangkannya.
Dalam proses perjuangan untuk mencapai tujuan atau goal yang sudah dicita-citakan itu, dia betul-betul mempersiapkan dengan matang segala prasyarat untuk mencapai tujuannya itu. Persiapan yang dilakukan dapat dikatakan sempurna dan nyaris tanpa cela. Begitu juga dengan usaha, kerja keras atau action yang dilakukannya untuk mencapai keinginan itu dilakukan secara total, ikhlas, sabar, dan penuh keyakinan serta kegigihan yang tinggi. Dia merupakan pribadi yang tidak mudah menyerah, dia selalu memilih jalan yang terjal, jalan yang beresiko, sehingga dia yakin bisa memiliki kesempatan untuk mengasah diri untuk menjadi lebih baik lagi.
Meskipun seseorang dengan tipe terhormat ini telah mempersiapkan dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna dan telah memenuhi segala prasyarat yang diinginkan, namun bukan berarti ia akan dengan lempang bisa memperoleh apa yang diinginkannya itu. Tidak sedikit contoh orang yang sudah berusaha dengan sungguh-sungguh, berjuang dengan keras, mempersiapkan diri dengan matang dan optimal, tetapi masih belum memperoleh apa yang diinginkannya. Jika halnya demikian, adakah ini sebuah kesalahan atau kesilapan?
Penulis tidak menganggap ini sebagai sebuah kesalahan atau kesilapan. Ini bisa dipahami dengan penjelasan bahwa manusia selain diberikan kehendak (kekuatan/dorongan untuk menjadi lebih baik) sekaligus dilengkapi dengan batasan (kelemahan atau ketidakberdayaan). Manusia memang diberikan kesempatan untuk berjuang dan bekerja keras untuk mencapai apa yang yang diinginkannya sesuai dengan tuntutan dan tuntunan yang diharapakan. Namun, tetap harus dipahami bahwa manusia juga memiliki constraint yang menjadikan dia tidak berdaya. Ternyata ada kekuatan yang jauh lebih kuat dan jauh lebih hebat dari kehendak atau kekuatan manusia. Kekuatan itu tentu saja kekuatan dari sang maha kuat yang kekuatannya tidak kenal batas. Dialah Sang Causa Prima,  Sang Khaliq, sang maha segala-galanya. Dialah yang sesungguhnya berkehendak dan kehendak Dia merupakan kehendak seadil-adilnya. Kita hanya bisa berusaha dan Dialah yang meridhoinya, kita hanya bisa merencanakan, sementara Dia lah yang memutuskan. Dan keputusanNya merupakan keputusan yang seadil-adilnya. Pada akhirnya kita hanya hanya diwajibkan berikhtiar, perkara hasil kembalikan pada sang maha memiliki segalanya. Homo homonit, seud deus disponit. Man proposes but God dispose!


    

Rabu, 14 Mei 2014

Menjadi Tenaga Pengajar Itu Asyik !

Apa yang terlintas di benak pembaca sekalian ketika mendengar atau membaca istilah tentang “tenaga pengajar”. Siapakah dia itu yang pantas menyandang gelar “pengajar”. Adakah dia itu guru di sekolah, guru ngaji di TPA, ustadz dan para da’i, dosen di kampus, tentor di bimbingan belajar, guru silat, pelatih sepakbola, pelatih bulu tangkis, pelatih bola voli dan pelatih beberapa cabang olahraga laiinya? Haruskah yang dikatakan “pengajar” itu mesti memiliki seragam yang khusus, harus memiliki instansi yang terakreditasi, serta haruskah dia itu seorang pegawai negeri?
Istilah pengajar pasti sangat berkaitan dengan istilah belajar. Sedangkan terminasi belajar itu sendiri sangat berdekatan dengan kata pelajar. Kesimpulan dari silogisme ini adalah seorang pengajar itu, mesti dan harus dekat dengan para pelajar. Kedekatan disini tidak saja diartikan sebagai kedekatan fisik dalam proses interaksi yang disebut dengan kegiatan belajar mengajar. Kedekatan fisik memang perlu, namun kedekatan emosional jauh lebih perlu. Seorang pengajar selain memahami tentang materi ajar, juga harus mampu menemukenali karakteristik, selera, sikap, kondisi emosional dan kepribadian dari seorang pelajar.
Memahami karakteristik dan kepribadian seorang pelajar bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Namun begitu, bukan berarti hal tersebut tidak bisa disiasati. Kabar baiknya adalah apabila hal ini bisa kita kuasai, maka kemudahan dan keberhasilan yang akan kita temui. Untuk mampu memahami hal itu, terlebih dahulu kita harus mampu menjadi seorang pendengar yang baik, bukan sebagai sebagai pembicara yang baik. Kelihatannya aneh memang, bukankah secara kasat mata dan logika sederhana justru pengajar itulah yang seharusnya lebih dominan berbicara? Apa korelasi antara menjadi pengajar yang berhasil dengan pendengar yang baik? Adakah dia merupakan suatu ketentuan alam?
Berbicara mengenai ketentuan alam berarti kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas dan general. Sesuatu yang general berarti dia berlaku umum, dan segala sesuatu yang berlaku secara umum maka kita  menyebutnya dengan hukum alam. Untuk membahas atau berbicara mengenai hukum alam, maka kita kembali kepada alam dan penciptaan. Secara alamiah, manusia diciptakan dengan sepasang indera pendengar (telinga) dan hanya satu alat yang digunakan untuk berbicara (mulut). Ini berarti jumlah alat pendengaran kita dua kali lipat lebih banyak daripada alat untuk berbicara. Kesimpulan yang paling sahih dari kenyataan ini adalah kita diajarkan oleh alam untuk mendengar lebih baik dua kali lebih banyak daripada menjadi pembicara yang baik. Ini juga bisa diartikan urgensi menjadi pendengar yang baik lebih dipentingkan daripada hanya menjadi seorang pembicara yang baik. Atau dengan kata lain, untuk menjadi seorang pembicara yang baik, maka kita haruslah menjadi seorang pendengar yang baik.
Andrea Harefa, dalam bukunya Menjadi Manusia Pembelajar (2008) memberikan tiga ciri seseorang dapat dikatakan sebagai manusia pembelajar. Manusia pembelajar adalah seseorang yang memiliki prinsip berikut : menganggap setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah dan setiap saat merupakan waktu yang tepat untuk belajar. Senada dengan pemikiran Andreas Harefa, bila ada istilah menjadi manusia pembelajar, maka juga ada terminologi menjadi manusia pengajar. Manusia pengajar adalah mereka-mereka yang berhasil mengilhami dan menginspirasi para anak didiknya menjadi seorang manusia pembelajar.
Saya memang tidak berkecimpung di dunia kepengajaran, sebagaimana halnya bahwa saya merupakan lulusan Fakultas Teknik, bukan Fakultas Keguruan. Mungkin satu-satunya hal yang bisa “mengaitkan” atau “menghubungkan” saya dengan dunia kepengajaran adalah pengalaman saya sebagai seorang tentor, tutor atau guru privat ketika saya sedang dalam masa studi di perguruan tinggi. Cerita mengenai saya sebagai seorang tentor merupakan sebuah kisah yang memiliki cita rasa tersendiri.
Merupakan hal yang lumrah jikalau kebanyakan mahasiswa Perguruan Tinggi  terlibat dalam organisasi di kampus. Apakah organisasi tersebut berbasis bidang keilmuan, keagaamaan, ideologi, kedaerahan, maupun kewirausahaan. Saya juga terlibat aktif dalam berbagai organisasi di kampus. Dari pergaulan antar sesama anggota dan pengurus lainnya, suatu ketika saya ditawarkan sebuah kesempatan untuk menjadi guru privat bagi pelajar SMA. Ada keraguan apakah saya bisa menjalani dan menjadi partner yang baik untuk siswa yang akan saya bimbing. Adakah saya pantas untuk dia? Apakah kemampuan yang saya miliki mampu memenuhi kebutuhannya? Akankah saya bisa memberikan “value added” kepadanya? “Kita coba saja dulu, kalau tidak cocok berhenti di tengah jalan tidak apa-apa dan itu sudah biasa!”. Demikian apa yang dikatakan teman saya untuk meyakinkan saya mengambil peluang itu, dan akhirnya resmilah saya menjadi tentor kala itu.
Honor yang diberikan memang tidaklah seberapa, namun untuk ukuran kantong mahasiswa seperti saya, itu merupakan sebuah jumlah nominal yang menggiurkan dan lebih dari cukup untuk saya menyimpannya. Beruntung juga saya bukan perokok, sehingga nominal yang bisa saya simpan peluangnya menjadi lebih besar. Pelajaran moral pertama, keuntungan bagi non perokok adalah pandai bersyukur,karena mampu menjadikan sesuatu yang kecil menjadi sesuatu yang lebih dari cukup. Karena dia pandai bersyukur, maka hidupnya akan bahagia.
Menjadi tentor/tutor itu sangat mengasyikkan. Kita tidak diharuskan mengeluarkan energi ekstra (otot dan tenaga yang kuat) untuk melakukannya. Hanya butuh waktu 60 atau 90 menit saja untuk setiap pertemuannya. Tidak harus membanting tulang, tidak mesti berpeluh keringat karena sengatan matahari. Kita hanya membutuhkan kesabaran dan kemampuan untuk menjelaskan materi kepada anak didik. Sesekali kita membantu dan mengajari anak didik bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan rumah dan tugas-tugasnya.
Ada beberapa keuntungan menjadi seorang tentor/tutor/guru privat. Pertama, pekerjaan ini menuntut orangnya memiliki kemampuan untuk menjelaskan sesuatu dengan baik, dengan demikian, akan membentuk kemampuan komunikasi yang baik. Kedua, seorang tentor dituntut memiliki kemampuan mememotivasi anak didik, artinya dia melatih kemampuan kepemimpinan dan manajerialnya. Ketiga, dengan mengajari anak didik terhadap materi ajar, akan menolong si tentor untuk mengingat dan merekam kembali materi ajar yang sudah dipelajarinya, ini artinya pekerjaa seorang tentor bukan sebatas mengajar, tetapi juga belajar untuk dirinya sendiri. Keempat, selain memberikan benefit, menjadi tentor juga mendatangkan profit. Memberikan benefit kepada anak didik, profit berupa honor untuk kita sebagai imbalannya. Pengalaman saya ketika menjadi tentor ketika sedang melakukan studi di salah satu universitas negeri di Sumatera Utara, saya bisa menggunakan honor yang saya terima dari menjadi seorang tentor untuk membiayai kehidupan selama disana. Untuk membayar uang kuliah, uang kos, uang makan dan minum, membeli peralatan dan kelengkapan studi (buku, laptop, dsb), dan bahkan, Alhamdulillah saya bisa membeli sebuah sepeda motor baru dari hasil tabungan menjadi seorang tentor.
Menjadi seorang tenaga pengajar asyik bukan?


Minggu, 11 Mei 2014

Dan Aku pun (Bisa Jadi) Pembohong

Hai kamu! Iya, kamu! Kamu yang sedang membaca tulisan ini, atau kamu yang sedang menanti tulisan ini dan tulisan-tulisanku berikutnya. Apa kabarmu disana? Aku harap kamu baik-baik saja dan semoga diberikan kesehatan yang prima sehingga selalu semangat menjalani hari.
Maaf, tak banyak yang bisa aku berikan saat ini. Baik perhatian, maupun hal-hal yang dapat menyenangkanmu. Kamu tentu tahu, ada jarak yang membatasi sehingga diri ini tak mampu menyanggupi. Mungkin, kamu perlu tahu bahwa aku selalu menitipkan salam pada mentari pagi agar sinarnya mampu menghangatkanmu dari kerasnya hari. Di malam hari aku  juga meminta bintang dan sang rembulan untuk terus memancarkan cahayanya yang temaram agar dirimu tidak merasa sendirian dalam kesunyian.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang bersama tulisan-tulisan selama ini menjadi penghubung cerita-cerita diantara kita. Kelihatannya asik juga ya bercerita lewat media? Ya, meskipun belum sekalipun kita bertatap muka. Kadang aku juga sempat bertanya-tanya, bagaimana jika tak ada tulisan-tulisanmu yang aku baca? dan tak ada tulisan yang memang sengaja kuminta untuk mengkritik dan memperbaikinya? Apa jadinya bila tak ada cerita yang menjadi media penghubung diantara kita? Bagaimana jika tak ada kata-kata yang sengaja “disiratkan” untuk menambah rasa? Dan bagaimana jika aku tak mengirimkan “berita tengah malam” itu? Sungguh aku ragu meneruskannya padamu. Bukan apa apa, aku hanya khawatir jika sikapmu memilih menjauh dariku. Itu! hanya itu alasan untuk keraguanku.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang sengaja kembali mengungkit memori lalu. Sebelumnya aku merasa canggung untuk menyapamu. Butuh alasan yang tepat dan kuat bagiku untuk kembali menyapa melalui bahasa-bahasa terselubung.  Sampai akhirnya kita kembali pada romansa masa lalu, bersapa ria melalui bahasa dan kata yang sengaja dibumbui suatu maksud.
Kamu. Iya, kamu! Namamu kini mulai menetap nyaman di hati serta menghiasi pikiran ini. Entahlah, jangan kau tanyakan kapan hal itu terjadi. Mungkin ini terjadi seiring dengan komunikasi yang kian terjalin. Akhirnya kini aku pun mulai berani. Rasanya tak ada lagi kecanggungan diantara kita. Seolah-olah sudah saling memahami dan saling mengerti. Tak ada lagi bahasa yang “terselubung”, tak ada lagi makna yang “tersirat”. Semuanya kini telah berganti menjadi bahasa yang tegas dan jelas. Tidak ada lagi segan. Tak ada lagi rasa ragu.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang dulu pernah kutanyakan tentang suatu “gambar“. Tentu kamu sangat mengerti dan memahami apa yang kumaksud dari “gambar“ itu. Masih ingat kah kamu akan reaksiku tentangnya? Masih pahamkah dirimu mengapa aku menanyakan perihalmu terhadapnya? Benar, aku risih dengan posisi itu. Aku ingin kau baik-baik saja. Aku ingin tulus dan menjagamu.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang kusebut-sebut dalam doa. Tahukah kamu bahwa diujung doa aku memohon kepada sang Maha Kuasa agar memberimu kekuatan, ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi semua permasalahan yang ada? Kupinta juga agar kiranya Dia menjagamu untukku, untuk kita. Aku juga meminta agar hatimu didekatkan dengan hatiku, sehingga hati kita didekatkan dengan sang Maha Cinta. Aku ingin kita diridhoi, aku ingin hubungan ini direstui, aku ingin sesuatu yang berarti tanpa mengingkari titah ilahi.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang sekarang begitu jelas tergambar di sanubari, begitu dekat dihati, menjadi penghuni pikiran dan hati dari hari ke hari. Rasanya aneh, bila kita tidak bertegur sapa, ada yang kurang bila tidak mengungkapkan kata dan bahasa. Seiring dengan berlalunya masa, kini hubungan ini tak lagi menjadi biasa. Kamu dan aku tak lagi merasa canggung, tak ada lagi istilah yang terselubung. Semuanya menjadi jelas dan tegas, seolah tidak ada lagi yang namanya pembatas.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang ingin aku bicarakan soal pembatas. Aku mendefinisikan pembatas sebagai suatu hal yang memisahkan antara dua hal. Hal baik dengan buruk, serta memisahkan antara hak dan yang batil. Pembatas juga dapat kuartikan sebagai titik pembeda, yang membedakanku dengan yang sebelumnya. Aku ingin berbeda, ingin menjadi tidak biasa. Aku ingin menjadi tulus, dan aku tidak menginginkan apa yang disebut dengan modus.

Kamu. Iya, kamu! Kamu yang aku sampaikan kata maaf atas beberapa kejadian yang sepertinya telah melewati batas. Karena batas itu telah terlewati, itu artinya aku tidaklah menjadi berbeda lagi. Maafkan aku atas kekhilafan ini. Bagaimanapun jua, Aku bukanlah malaikat, aku bukanlah nabi. Aku hanya seorang lelaki, yang masih banyak belajar tentang pengendalian diri. Maafkan juga karena aku telah berbohong, meminta dirimu menjaga diri, tapi nyatanya aku ingin mencelakakanmu dengan tanganku sendiri. Maafkanlah aku, Ajarilah aku, ingatkanlah aku, tegurlah aku, karena aku hanya seorang laki-laki yang belum bisa menjaga  diri sendiri []