Selasa, 01 November 2016

Tentang Hati

Aeschylus benar. Katanya, even he who is wiser than a wise may err! Kita acapkali menggaungkan bahwa kitalah yang paling benar, paling sahih, paling bijaksana. Padahal, boleh jadi pemahaman kebijaksanaan kita adalah keteledoran itu sendiri. Begitu juga dengan sikap humble, ikhlas dan rendah hati. Boleh jadi sikap ikhlas "humble" adalah bagian dari perilaku riya "pencitraan" diri.
Berbicara mengenai ikhlas dan riya bukanlah pembahasan yang semalam jadi. Seorang akhli ikhlas belum tentu ikhlas, konon lagi ahli riya. Sebuah contoh kasus hipotetik (tak real) menyebutkan bahwa seseorang dihadapkan pada posisi dilematis ketika mendapat pertanyaan apakah dia ikhlas kala menerima atau memberikan sesuatu? Bila ia menjawab ikhlas, boleh jadi dia sedang men-zahirkan sikap riya, namun bila dia menjawab tidak ikhlas apalah guna ia berbuat? Bukankah kita tidak disuruh berbuat (beribadah kepada Allah) kecuali dalam keadaan ikhlas (QS 98:5) 
Lantas bagaimana harus menyikapi tentang sifat ikhlas atau riya ini? Karena kedua sifat itu berasal dari hati, maka sebaiknya kembalikan saja urusan ini kepada hati. Biarkan dia yang menjawabnya, kembalikan saja urusan pada niatnya. Aa Gym menegaskan sikap ikhlas itu bersumber dari hati yang bersih. Hati yang bersih digambarkan sebagai hati yang tak merasa hina kala dicaci, tak berbangga diri ketika dipuji. 
Untuk menjawab apakah kita memiliki hati yang bersih, agaknya kita perlu berhati-hati dan mawas diri, karena sekali lagi seperti apa yang dikatakan Aeschylus, even he who is wiser than a wise may err! 
Allahumma tsabitni waj'alni hadiyan mahdiyan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar