Jumat, 20 Maret 2015

AKU DAN PARA GEMBALA

Pulang sekolah, aku langsung menuju dapur untuk menyantap makan siang dengan lauk seadanya. Selalu, dudukan setinggi 15 senti sebagai pengganti kursi kuseret ke arah pintu belakang rumah.  Aku makan dengan pintu dapur kubiarkan terbuka, dengan demikian aku bisa merasakan segarnya udara berhembus sambil sesekali memperhatikan orang yang lalu lalang di jalan setapak belakang rumah. Kalau beruntung, aku bisa menyaksikan gerak jatuh bebas buah pala dari pohonnya. Dalam kecepatan normal, buah yang menjadi primadona ekonomi kampung ini akan mendarat di bumi dalam waktu kurang dari 5 detik. 

Aku menjadikan pintu dapur sebagai venue santapan siang bukan tanpa sebab. Selain karena dapur kami tidak memiliki meja makan, alasan lainnya adalah di tempat ini aku bisa makan sambil "berbagi" makanan dengan ayam-ayam piaran. Entah apa sebab, batinku merasa begitu puas kala berbagi dengan mereka. Mungkin itu karena dilakukan dengan ikhlas, tanpa harus ada yang memelas. Ketika sisa-sisa nasi atau tulang kulemparkan, ayam-ayam itu saling berebut dan adu sikut.   Menyaksikan peristiwa ini, tak ada alasan bagiku untuk tidak mensyukuri hidup ini. Dilihat dari segi manapun, kehidupanku jauh lebih baik dari ayam-ayam ini. Meski dengan menu seadanya, menggunakan pinggan plastik yang sisi dalam dan luarnya terkelupas karena dimakan usia, tanpa meja makan, tanpa kursi rotan, nasibku tetaplah jauh lebih beruntung dibandingkan mereka. Hal-hal seperti inilah yang secara alami mengajariku arti bersyukur.

Kata orang, sehabis makan sebaiknya berikan waktu  untuk tubuh sejenak. Biarkan nasi turun terlebih dahulu,  demikian orang awam mengatakan. Namun itu tak berlaku bagiku, setelah urusan perut selesai, aku langsung menggelar tikar untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat islam. Setelahnya, aku segera mengenakan seragam "dinas" serta langsung bertugas selaku anak gembala. Tas punjut sudah diselempangkan di bahu, lengkap dengan botol minuman bekas yang sudah berganti warna, topi merek Tut Wuri Handayani dan sandal jipang sudah dala posisi, tak ketinggalan instrumen paling penting dalam pekerjaan ini, yakni sebilah parang yang sudah bermata akibat beradu dengan kerikil dan batu-batu.

Aku berangkat menuju ujung desa, tepat dibawah kaki bukit yang berpucuk pada hutan rimba. Orang-orang kampung menyebutnya geunteng. Disana, aku telah ditunggu oleh rekan - rekan sepengembala. Sama sepertiku, mereka juga tak kalah lengkap membawa peralatan perang, masing-masing mengenggam sebilah parang di tangan. Saat ini adalah musim meugoe, dimana sawah-sawah telah ditanami padi. Musim meugoe, juga disebut musim troen blang merupakan periode terberat bagi kami para gembala.  Betapa tidak, tugas dan tanggung jawab kami menjadi lebih bertambah. Di luar musim bercocok tanam, pagi-pagi sekali kerbau-kerbau dikeluarkan dari kandang dan dibiarkan lepas semaunya. Mereka dengan sendirinya akan kembali ke kandang pada sore harinya. Praktis, yang perlu kami lakukan hanya menambatkan tali kekang pada tali hidungnya. Berbeda kejadian pada musim meugoe ini. Setelah dikelurkan dari kandang, kerbau - kerbau ini harus terlebih dahulu digiring melewati geunteng, kemudian baru dilepaskan menuju hutan rimba. Siangnya, di ujung geunteng,  kami para gembala harus menunggu kerbau-kerbau kembali.  Dan ini tidak boleh terlambat, karena jika sedikit saja telat, maka sawah-sawah pak tani lah yang akan menjadi korbannya. Dan kamilah yang akan memikul hukumannnya.

Celakanya, dasar kerbau tak tahu diri. Mereka tidak selalu pulang dari jalan yang sama dan saling terpisah satu sama lainnya. Adalah kecil kemungkinannya kami mendapatkan kerbau-kerbau dalam satu kelompok yang utuh di kaki bukit. Kenyataannya kami harus menyisir paling tidak 4 titik untuk mengumpulkan mereka sebelum digiring kembali ke kandang masing-masing. Paya surunting di sebelah selatan, padang kereuleh di sebelah barat, serta paya saha dan carak masing-masing di sebelah barat laut dan utara. Kesemuanya titik itu merupakan medan yang berat untuk dilalui untuk ukuran gembala kecil seperti kami. Jalan yang berbukit-bukit serta dipenuhi semak belukar. Merupakan rumah bagi beberapa satwa liar seperti ular, kera dan babi hutan. Saat tiba musim nek - sebutan kepada harimau, tak jarang si raja hutan ini menyisir ke lokasi.

Menjadi sang gembala kau tak perlu takut bajumu kotor, faktanya baju teman sepengembalaanmu tak lebih bersih dari pakaian yang kau kenakan. Menjadi pengembala, kau tak perlu cemaskan kesehatan karena minum air mentah dari selang-selang yang bersiliweran, karena faktanya itu jauh lebih sehat dari kerbau-kerbaumu yang mandi dan minum di kubangan. Kau tak perlu kuatir kulitmu menghitam karena disengat matahari, faktanya dilihat darimanapun juga, warna kulitmu tak jauh berbeda dengan teman-temanmu yang lain. Kau tak perlu minder dengan bau tubuhmu yang berkeringat, karena bagaimanapun juga, bau kerbau-kerbaumu baunya jauh lebih menyengat. Kau tak perlu takut dicap sebagai tukang loh punggong keubue karena pekerjaanmu menggiring kerbau yang memungkinkan kamu melihat pantatnya setiap hari karena pekerjaanmu itu jauh lebih mulia daripada mereka-mereka berkantor dan sudah haji tapi tetap masih korupsi . Satu-satunya hal yang perlu kau cemaskan adalah kala teman-temanmu sudah mendapati kerbau mereka dan kau belum memperoleh petunjuk apa-apa. Pada kondisi ini, kau harus lebih gesit berlari, melihat kemungkinan disana-sini. Kau juga harus lebih giat bekerja, menyisir setiap lokasi yang ada. Bila hari menjelang senja, dan kau belum menjumpai kerbaumu juga, tak perlulah rasa cemasmu itu berubah menjadi takut. Karena dasar memang tipikal orang desa udik, teman-temanmu meski kerbau sudah di tangan, pantang bagi mereka berpulang, sebelum lengkap semua rombongan.

                  -----------------------------------------------------------------------------------

Sabtu, 7 Maret 2015 aku dan rombongan menyempatkan diri berkunjung ke Cleland Widlife Park, Adelaide Hills, South Australia. Kunjungan ini sengaja dilakungan dengan tujuan melihat si kanguru dari jarak dekat. Nyaris genap dua bulan aku tinggal di Australia, tanpa sekalipun berjumpa dengan spesies  fauna yang identik dengan negara ini. Rasanya belum sah tinggal di negeri ini, jikalau belum berkenalan dengan makhluk  berkantung ini. Sesampainya di lokasi, kucoba mempraktikkan "ilmu" gembala ku yang sudah lama tak terpakai. Dulu, aku terbiasa mengatakan "dong" pada gembalaanku. "Dong" dalam bahasa Aceh berarti perintah untuk berdiri/diam ditempat, dan seketika itu juga kerbauku turut dan patuh pada perintah sang tuan. Dengan begitu, aku dengan mudahnya membersihkan sesuatu yang tampak asing di badannya, melepaskan lintah-lintah raksasa yang melekat di sela-sela kaki dan pahanya, atau hanya untuk sekedar mengelus-ngelus kepalanya agar dia menjadi lebih tenang bersama sang tuannya. Sekarang, di "no worries" country ini perintah yang sama kututur pada kanguru-kanguru mengemaskan ini. Tentu dengan redaksi yang sudah ditranslasi, by simply saying "come on baby". Perkara kanguru ini patuh atau tidaknya, biarlah gambar ini yg menjelaskan semuanya!


2 komentar:

  1. Begitu terlihatlah perkembangan hidupmu yg terus berkembang kedepan bang dan tak lupa cerita ini sangat menginspirasi dari latar belakang dan kegiatanmu dimasa lampau. Tulisanmu sdh layaknya penulis handal, yg tahu ritme dalam memainkan emotional sipembaca. Saya harap tdk hanya kangguru dan kerbau tu yg akan berdiri dan mngikuti mu tp dunia juga bakal melihatmu dalam setiap langkah pencapaian mimpi dihdpmu dan

    BalasHapus
  2. Saluton mia frato Junot!
    Dankon por komentoj :)

    BalasHapus