Minggu, 29 Maret 2015

SIKAP ANTI MAISTREAM

Hasil penelitian yang dilakukan oleh National Research University Higher School of Economic (NRU HSE) menyebutkan bahwa para orang tua di Rusia menginginkan anak-anaknya kelak bekerja sebagai pengacara (24%), dokter (21%), ahli ekonomi dan akuntan (19%), pengusaha, polisi/tentara dan programmer (14%), enginer (13%) dan yang lainnya. Hanya 3% responden yang ingin melihat anak-anaknya bekerja di bidang kreatif seperti pelukis, penulis, jurnalis, fotografer, dan lainnya. Lebih lanjut, salah seorang peneliti dari lembaga tersebut menyatakan bahwa pendapatan yang stabil dan jenjang karir yang lebih cerah merupakan alasan utama mengapa orangtua memimpikan anak-anaknya menjadi seorang pengacara, dokter maupun ahli ekonomi/akuntan.
Semua sepakat bahwa seorang pengacara lekat dengan kehidupan yang glamour dan penuh kemewahan, memiliki mobil trendy dan sporty, rumah dan perhiasaan yang elegan, serta berada dalam lingkaran kaum elit. Kita juga tahu bahwa profesi dokter memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat baik dalam perspektif materi maupun non-materi. Demikian juga dengan pakar ekonomi, seorang ahli ekonomi diyakini memiliki prospek hidup yang lebih cerah seiring para pemilik perusahaan bonafid dan kelas dunia berlomba-lomba merekrut orang-orang dengan kualifikasi ini sebagai chief excutive officer (CEO) di unit usaha mereka.
What about our beloved country, Indonesia? Well, keadaannya lebih kurang tidak jauh berbeda dengan cerita di atas. Coba lihat saja, hasil survey terhadap kampus yang paling diminati oleh pelajar di Indonesia. Sebagai contoh, survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 680 siswa SMK/SMA pada 15 sekolah di lima wilayah Jakarta menyebutkan bahwa jurusan yang paling diminati adalah ekonomi (akuntansi, manajemen dan bisnis) di kelompok non-eksakta dan fakultas teknik untuk kategori eksaksta. Tentu saja preferensi ini bukan tanpa sebab, selain seperti penjelasan salah seorang peneliti di atas, ini juga dikarenakan pembentukan pola pikir dan mental yang cenderung mengikuti kebiasaan (mainstream) dan tidak berani mengambil resiko serta lebih memilih berada di zona nyaman (comfort zone).
Well, semua itu memang tentang pilihan. Setiap orang tentu saja bebas merdeka terhadap pilihan-pilihan di dalam hidupnya. Tentu saja setiap insan yang ada di muka bumi ini menginginkan yang terbaik untuk dirinya dan melalui pilihan-pilihan yang diputuskannya. Siapa yang tidak ingin punya kehidupan yang aman dan nyaman? Siapa yang tidak suka memperoleh penghasilan di atas rata-rata, rumah bagus, mobil mewah, tanah yang luas, kedudukan sosial yang tinggi, dihormati dan terpandang di dalam kehidupan masyarakat? Siapa yang tidak ingin memberikan rasa nyaman dan aman kepada orang-orang yang dicintai dan disayangi, memiliki kebebasan untuk liburan yang menyenangkan bersama keluarga, asuransi kesehatan kelas 1 bagi setiap anggota keluarga, pendidikan anak yang terjamin serta beragam fasilitas lainnya? Rasanya tidak ada manusia yang tidak menginginkan itu, namun sebaliknya mereka siap berjuang dan berkompetisi demi menjadi manusia dengan “kriteria” itu. Berbagai macam cara pun dilakukan, yang salah satunya adalah  dengan  mengimitasi jalan hidup orang-orang yang memiliki “kriteria” tersebut (baca : menjadi lawyer, dokter, dan profesi “generally speaking” kelas atas lainnya).
Bahkan, demi memenangkan “kompetisi” itu, tidak sedikit praktek persaingan tidak sehat berlaku. Apapun rela dilakukan dan dikorbankan demi menggapai puncak kemenangan. Bukanlah hal yang tabu jika kemenangan itu diraih dengan cara-cara yang curang. Sebagai contoh, demi mengamankan satu jatah kursi di kampus tertentu, seorang  tamatan SMA yang sebenarnya memiliki kemampuan di atas rata-rata, namun karena tidak percaya diri akan kemampuannya, rela menyewa seorang joki ujian untuk memuluskan langkahnya kuliah di fakultas yang diimpikannya. Tak ubahnya dengan kisah orang tua yang melalui kekuatan finansial dan status/jabatannya suatu instansi mampu mempengaruhi staf fakultas atau yang lainnya  untuk “mengamankan” satu jatah kursi pendidikan untuk anaknya di kampus yang diinginkannya. Persaingan tidak sehat seperti ini, tidak saja “memaksakan” sesuatu pada tempatnya, tetapi juga menghambat orang lain yang seharusnya “ditempatkan” pada posisi itu. Maka benarlah, apa yang dikatakan oleh Viru Sahastrabudi – tokoh rektor dalam film 3 Idiots bahwa “life begins with a murder” dan “everything is fair in war and love”.
Itulah sedikit gambaran tentang iklim kompetisi pada kelompok mainstream. Jika sedemikian “ngerinya” praktek  untuk mencapai tujuan di kelompok mainstream, mengapa tidak memutuskan untuk menjadi kelompok anti mainstream? Sebagai contoh, ketika orang-orang mainstream berlomba-lomba untuk menjadi manajer dan CEO perusahaan kelas dunia, orang-orang anti mainstream akan lebih memilih pekerjaan “kelas dua” seperti pelukis, fotografer alam liar, penulis dan pekerjaan kreatif lainnya. Setidaknya, pada kelompok ini, persaingan lebih objektif dan sehat. Kelompok ini lebih menghargai ketulusan dan apreasiasi bukan sebaliknya mengejar popularitas dan ambisi. 
Well, ini sekali lagi merupakan sebuah pilihan. Antara mengikuti arus kebiasaan atau sebaliknya menjalani hidup dengan cara yang berbeda atau paling tidak dengan cara pandang yang berbeda. Tidak ada yang salah untuk menjadi kelompok mainstream, juga tidak berdosa untuk memutuskan pilihan sebagai pihak anti mainstream. Manusia di radian Mainstream adalah mereka yang menyukai kehidupan yang teratur, terencana dan terprediksi, sementara kelompok anti mainstream malah menyukai kehidupan sebaliknya. Mainstreamers- kalo boleh disebut demikian, lebih memilih untuk berada di zona nyaman, sementara para anti mainstream lebih menyukai tantangan, kehidupan penuh resiko.
Menjadi anti mainstream memang mengandung resiko, karena menjatuhkan diri pada pilihan hidup yang tak populis yang acap kali bertentangan dengan kebiasaan. Orang yang anti mainstream akan melihat sesuatu dari cara pandang yang lain. Keliatan aneh memang, dan terkesan “nyeleneh” kalau tidak ingin disebut gila. Mereka yang pada kelompok ini memiliki pemikiran yang kadang kala 180o berbeda dengan orang kebanyakan, karenanya tak salah mereka dilabeli dengan sebutan anti mainstream. Mereka mampu menginterpretasi sutau gejala atau fenomena dari cara yang paling mustahil sekalipun. Menganggap kebahagiaan sebagai suatu penderitaan serta meyakini bahwa kekayaan merupakan pangkal kemiskinan. Mereka itu unik. Keunikan itulah yang menjadikan mereka berbeda.
Menjadi anti mainstream memang tidaklah mudah. Akan banyak halangan dan rintangan yang dihadapi. Merasa terbuang dan dikucilkan dalam pergaulan. Bahkan tidak sedikit mereka ditentang dan di kecam. Bukan hanya itu, bahkan nyawa pun bias menjadi taruhan. Nicolas Copernicus, pencetus teori heliosentris, seorang anti mainstream di zamannya, harus dihukum mati karena mempunyai pandangan yang berbeda dengan pihak gereja. Meski menjadi anti mainstream tidaklah mudah, tapi itu setimpal dengan balasan akan kegigihan dan perjuangannya untuk bertahan pada zona tidak nyamannya. Lihatlah Copernicus, meskipun harus dibayar dengan nyawa, pada akhirnya teori yang dikemukakannya dapat diterima masyarakatan luas dan menjadikan dirinya sebagai salah satu ilmuwan besar dan sebagai tokoh dunia yang selalu dikenang sepanjang masa.
Di negeri ini tidak sedikit orang yang menjatuhkan pilihan sebagai kelompok anti mainstream yang kemudian berhasil mengibarkan “bendera” di langit tertinggi. Tirto Utomo misalnya. Sang pendiri Aqua. Dia merupakan salah satu anak negeri dengan label “antimainstream” paling klasik. Seorang penggebrak yang berani meninggalkan kenyamanannya dan menanggalkan jabatan dari perusahaan pelat merah nomer satu di negeri ini. Alih-alih bertahan dengan kemewahan itu, dia nekad “berjudi” sebagai “penjual air” di negeri yang kaya akan sumber daya air. Lebih gilanya lagi, dia memasarkan “air” tersebut jauh diatas harga bahan bakar minyak yang value­-nya lebih tinggi daripada air. Kenekatan dan kegilaannya memang menjengkelkan dan tak sedikit mengundang cibiran, namun berkat kegigihan dan keunikannya itu, Aqua menjadi merek dagang dengan penjualan nomor satu.
Ternyata, bukan hanya manusia yang bersikap antimainstream. Fauna pun tak ubahnya begitu. Paus dan kelelawar misalnya. Paus merupakan hewan anti mainstream yang berani menentang rantai makanan. Hukum ini menyatakan bahwa makhluk hidup tertentu merupakan sumber makanan bagi makhluk hidup lain yang tingkatan lebih tinggi. Semakin tinggi tingkatannya, semakin besar ukuran tubuhnya, maka semakin besar pula ukuran tubuh mangsaanya. Namun paus si anti mainstream ini tidak bertindak demikian. Meskipun dia merupakan yang terbesar, namun makanannya hanyalah plankton yang tak lain adalah penghuni ekosistem laut terkecil.  Demikian juga halnya dengan kelelawar, yang memilih jalan berbeda dari makhluk hidup lainnya. Jika makhluk hidup lainnya menjadikan malam sebagai waktunya “mati”, sebaliknya kelelawar menjadikan waktu itu saat yang tepat untuk “beraksi”. Dengan keunikan dan perbedaan tersebut, kedua jenis hewan itu diklasifikasikan sebagai hewan ultrasonik, hewan yang anti mainstream,yang memiliki kedudukan yang berbeda dengan yang lainnya.
Singkatnya, jika anda ingin “menang dan dikenang” maka cobalah bersikap anti mainstream!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar