Hasil
penelitian yang dilakukan oleh National Research University Higher School of
Economic (NRU HSE) menyebutkan bahwa para orang tua di Rusia menginginkan
anak-anaknya kelak bekerja sebagai pengacara (24%), dokter (21%), ahli ekonomi
dan akuntan (19%), pengusaha, polisi/tentara dan programmer (14%), enginer (13%)
dan yang lainnya. Hanya 3% responden yang ingin melihat anak-anaknya bekerja di
bidang kreatif seperti pelukis, penulis, jurnalis, fotografer, dan lainnya. Lebih
lanjut, salah seorang peneliti dari lembaga tersebut menyatakan bahwa pendapatan
yang stabil dan jenjang karir yang lebih cerah merupakan alasan utama mengapa
orangtua memimpikan anak-anaknya menjadi seorang pengacara, dokter maupun ahli
ekonomi/akuntan.
Semua
sepakat bahwa seorang pengacara lekat dengan kehidupan yang glamour dan penuh
kemewahan, memiliki mobil trendy dan sporty, rumah dan perhiasaan yang elegan, serta
berada dalam lingkaran kaum elit. Kita juga tahu bahwa profesi dokter memiliki
kedudukan yang tinggi di masyarakat baik dalam perspektif materi maupun
non-materi. Demikian juga dengan pakar ekonomi, seorang ahli ekonomi diyakini
memiliki prospek hidup yang lebih cerah seiring para pemilik perusahaan bonafid
dan kelas dunia berlomba-lomba merekrut orang-orang dengan kualifikasi ini
sebagai chief excutive officer (CEO) di unit usaha mereka.
What about our beloved country,
Indonesia? Well,
keadaannya lebih kurang tidak jauh berbeda dengan cerita di atas. Coba lihat
saja, hasil survey terhadap kampus yang paling diminati oleh pelajar di
Indonesia. Sebagai contoh, survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap
680 siswa SMK/SMA pada 15 sekolah di lima wilayah Jakarta menyebutkan bahwa jurusan
yang paling diminati adalah ekonomi (akuntansi, manajemen dan bisnis) di kelompok
non-eksakta dan fakultas teknik untuk kategori eksaksta. Tentu saja preferensi
ini bukan tanpa sebab, selain seperti penjelasan salah seorang peneliti di
atas, ini juga dikarenakan pembentukan pola pikir dan mental yang cenderung
mengikuti kebiasaan (mainstream) dan tidak
berani mengambil resiko serta lebih memilih berada di zona nyaman (comfort zone).
Well,
semua itu memang tentang pilihan. Setiap orang tentu saja bebas merdeka
terhadap pilihan-pilihan di dalam hidupnya. Tentu saja setiap insan yang ada di
muka bumi ini menginginkan yang terbaik untuk dirinya dan melalui
pilihan-pilihan yang diputuskannya. Siapa yang tidak ingin punya kehidupan yang
aman dan nyaman? Siapa yang tidak suka memperoleh penghasilan di atas
rata-rata, rumah bagus, mobil mewah, tanah yang luas, kedudukan sosial yang
tinggi, dihormati dan terpandang di dalam kehidupan masyarakat? Siapa yang
tidak ingin memberikan rasa nyaman dan aman kepada orang-orang yang dicintai
dan disayangi, memiliki kebebasan untuk liburan yang menyenangkan bersama
keluarga, asuransi kesehatan kelas 1 bagi setiap anggota keluarga, pendidikan
anak yang terjamin serta beragam fasilitas lainnya? Rasanya tidak ada manusia
yang tidak menginginkan itu, namun sebaliknya mereka siap berjuang dan berkompetisi
demi menjadi manusia dengan “kriteria” itu. Berbagai macam cara pun dilakukan,
yang salah satunya adalah dengan mengimitasi jalan hidup orang-orang yang
memiliki “kriteria” tersebut (baca : menjadi lawyer, dokter, dan profesi “generally speaking” kelas atas lainnya).
Bahkan,
demi memenangkan “kompetisi” itu, tidak sedikit praktek persaingan tidak sehat
berlaku. Apapun rela dilakukan dan dikorbankan demi menggapai puncak
kemenangan. Bukanlah hal yang tabu jika kemenangan itu diraih dengan cara-cara yang
curang. Sebagai contoh, demi mengamankan satu jatah kursi di kampus tertentu,
seorang tamatan SMA yang sebenarnya
memiliki kemampuan di atas rata-rata, namun karena tidak percaya diri akan
kemampuannya, rela menyewa seorang joki ujian untuk memuluskan langkahnya
kuliah di fakultas yang diimpikannya. Tak ubahnya dengan kisah orang tua yang
melalui kekuatan finansial dan status/jabatannya suatu instansi mampu
mempengaruhi staf fakultas atau yang lainnya untuk “mengamankan” satu jatah kursi
pendidikan untuk anaknya di kampus yang diinginkannya. Persaingan tidak sehat
seperti ini, tidak saja “memaksakan” sesuatu pada tempatnya, tetapi juga
menghambat orang lain yang seharusnya “ditempatkan” pada posisi itu. Maka
benarlah, apa yang dikatakan oleh Viru Sahastrabudi – tokoh rektor dalam film 3
Idiots bahwa “life begins with a murder”
dan “everything is fair in war and love”.
Itulah
sedikit gambaran tentang iklim kompetisi pada kelompok mainstream. Jika
sedemikian “ngerinya” praktek untuk
mencapai tujuan di kelompok mainstream, mengapa tidak memutuskan untuk menjadi
kelompok anti mainstream? Sebagai contoh, ketika orang-orang mainstream
berlomba-lomba untuk menjadi manajer dan CEO perusahaan kelas dunia, orang-orang
anti mainstream akan lebih memilih pekerjaan “kelas dua” seperti pelukis,
fotografer alam liar, penulis dan pekerjaan kreatif lainnya. Setidaknya, pada
kelompok ini, persaingan lebih objektif dan sehat. Kelompok ini lebih
menghargai ketulusan dan apreasiasi bukan sebaliknya mengejar popularitas dan
ambisi.
Well,
ini sekali lagi merupakan sebuah pilihan. Antara mengikuti arus kebiasaan atau
sebaliknya menjalani hidup dengan cara yang berbeda atau paling tidak dengan
cara pandang yang berbeda. Tidak ada yang salah untuk menjadi kelompok
mainstream, juga tidak berdosa untuk memutuskan pilihan sebagai pihak anti
mainstream. Manusia di radian Mainstream adalah mereka yang menyukai kehidupan
yang teratur, terencana dan terprediksi, sementara kelompok anti mainstream
malah menyukai kehidupan sebaliknya. Mainstreamers-
kalo boleh disebut demikian, lebih memilih untuk berada di zona nyaman,
sementara para anti mainstream lebih menyukai tantangan, kehidupan penuh
resiko.
Menjadi
anti mainstream memang mengandung resiko, karena menjatuhkan diri pada pilihan hidup
yang tak populis yang acap kali bertentangan dengan kebiasaan. Orang yang anti
mainstream akan melihat sesuatu dari cara pandang yang lain. Keliatan aneh
memang, dan terkesan “nyeleneh” kalau tidak ingin disebut gila. Mereka yang
pada kelompok ini memiliki pemikiran yang kadang kala 180o berbeda
dengan orang kebanyakan, karenanya tak salah mereka dilabeli dengan sebutan
anti mainstream. Mereka mampu menginterpretasi sutau gejala atau fenomena dari
cara yang paling mustahil sekalipun. Menganggap kebahagiaan sebagai suatu
penderitaan serta meyakini bahwa kekayaan merupakan pangkal kemiskinan. Mereka
itu unik. Keunikan itulah yang menjadikan mereka berbeda.
Menjadi
anti mainstream memang tidaklah mudah. Akan banyak halangan dan rintangan yang
dihadapi. Merasa terbuang dan dikucilkan dalam pergaulan. Bahkan tidak sedikit
mereka ditentang dan di kecam. Bukan hanya itu, bahkan nyawa pun bias menjadi
taruhan. Nicolas Copernicus, pencetus teori heliosentris, seorang anti
mainstream di zamannya, harus dihukum mati karena mempunyai pandangan yang
berbeda dengan pihak gereja. Meski menjadi anti mainstream tidaklah mudah, tapi
itu setimpal dengan balasan akan kegigihan dan perjuangannya untuk bertahan
pada zona tidak nyamannya. Lihatlah Copernicus, meskipun harus dibayar dengan
nyawa, pada akhirnya teori yang dikemukakannya dapat diterima masyarakatan luas
dan menjadikan dirinya sebagai salah satu ilmuwan besar dan sebagai tokoh dunia
yang selalu dikenang sepanjang masa.
Di
negeri ini tidak sedikit orang yang menjatuhkan pilihan sebagai kelompok anti
mainstream yang kemudian berhasil mengibarkan “bendera” di langit tertinggi.
Tirto Utomo misalnya. Sang pendiri Aqua.
Dia merupakan salah satu anak negeri dengan label “antimainstream” paling
klasik. Seorang penggebrak yang berani meninggalkan kenyamanannya dan
menanggalkan jabatan dari perusahaan pelat merah nomer satu di negeri ini.
Alih-alih bertahan dengan kemewahan itu, dia nekad “berjudi” sebagai “penjual
air” di negeri yang kaya akan sumber daya air. Lebih gilanya lagi, dia memasarkan
“air” tersebut jauh diatas harga bahan bakar minyak yang value-nya lebih tinggi daripada air. Kenekatan dan kegilaannya
memang menjengkelkan dan tak sedikit mengundang cibiran, namun berkat kegigihan
dan keunikannya itu, Aqua menjadi merek dagang dengan penjualan nomor satu.
Ternyata,
bukan hanya manusia yang bersikap antimainstream. Fauna pun tak ubahnya begitu.
Paus dan kelelawar misalnya. Paus merupakan hewan anti mainstream yang berani menentang
rantai makanan. Hukum ini menyatakan bahwa makhluk hidup tertentu merupakan
sumber makanan bagi makhluk hidup lain yang tingkatan lebih tinggi. Semakin
tinggi tingkatannya, semakin besar ukuran tubuhnya, maka semakin besar pula
ukuran tubuh mangsaanya. Namun paus si anti mainstream ini tidak bertindak
demikian. Meskipun dia merupakan yang terbesar, namun makanannya hanyalah
plankton yang tak lain adalah penghuni ekosistem laut terkecil. Demikian juga halnya dengan kelelawar, yang
memilih jalan berbeda dari makhluk hidup lainnya. Jika makhluk hidup lainnya
menjadikan malam sebagai waktunya “mati”, sebaliknya kelelawar menjadikan waktu
itu saat yang tepat untuk “beraksi”. Dengan keunikan dan perbedaan tersebut, kedua
jenis hewan itu diklasifikasikan sebagai hewan ultrasonik, hewan yang anti mainstream,yang
memiliki kedudukan yang berbeda dengan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar