Minggu, 29 Maret 2015

SIKAP ANTI MAISTREAM

Hasil penelitian yang dilakukan oleh National Research University Higher School of Economic (NRU HSE) menyebutkan bahwa para orang tua di Rusia menginginkan anak-anaknya kelak bekerja sebagai pengacara (24%), dokter (21%), ahli ekonomi dan akuntan (19%), pengusaha, polisi/tentara dan programmer (14%), enginer (13%) dan yang lainnya. Hanya 3% responden yang ingin melihat anak-anaknya bekerja di bidang kreatif seperti pelukis, penulis, jurnalis, fotografer, dan lainnya. Lebih lanjut, salah seorang peneliti dari lembaga tersebut menyatakan bahwa pendapatan yang stabil dan jenjang karir yang lebih cerah merupakan alasan utama mengapa orangtua memimpikan anak-anaknya menjadi seorang pengacara, dokter maupun ahli ekonomi/akuntan.
Semua sepakat bahwa seorang pengacara lekat dengan kehidupan yang glamour dan penuh kemewahan, memiliki mobil trendy dan sporty, rumah dan perhiasaan yang elegan, serta berada dalam lingkaran kaum elit. Kita juga tahu bahwa profesi dokter memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat baik dalam perspektif materi maupun non-materi. Demikian juga dengan pakar ekonomi, seorang ahli ekonomi diyakini memiliki prospek hidup yang lebih cerah seiring para pemilik perusahaan bonafid dan kelas dunia berlomba-lomba merekrut orang-orang dengan kualifikasi ini sebagai chief excutive officer (CEO) di unit usaha mereka.
What about our beloved country, Indonesia? Well, keadaannya lebih kurang tidak jauh berbeda dengan cerita di atas. Coba lihat saja, hasil survey terhadap kampus yang paling diminati oleh pelajar di Indonesia. Sebagai contoh, survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 680 siswa SMK/SMA pada 15 sekolah di lima wilayah Jakarta menyebutkan bahwa jurusan yang paling diminati adalah ekonomi (akuntansi, manajemen dan bisnis) di kelompok non-eksakta dan fakultas teknik untuk kategori eksaksta. Tentu saja preferensi ini bukan tanpa sebab, selain seperti penjelasan salah seorang peneliti di atas, ini juga dikarenakan pembentukan pola pikir dan mental yang cenderung mengikuti kebiasaan (mainstream) dan tidak berani mengambil resiko serta lebih memilih berada di zona nyaman (comfort zone).
Well, semua itu memang tentang pilihan. Setiap orang tentu saja bebas merdeka terhadap pilihan-pilihan di dalam hidupnya. Tentu saja setiap insan yang ada di muka bumi ini menginginkan yang terbaik untuk dirinya dan melalui pilihan-pilihan yang diputuskannya. Siapa yang tidak ingin punya kehidupan yang aman dan nyaman? Siapa yang tidak suka memperoleh penghasilan di atas rata-rata, rumah bagus, mobil mewah, tanah yang luas, kedudukan sosial yang tinggi, dihormati dan terpandang di dalam kehidupan masyarakat? Siapa yang tidak ingin memberikan rasa nyaman dan aman kepada orang-orang yang dicintai dan disayangi, memiliki kebebasan untuk liburan yang menyenangkan bersama keluarga, asuransi kesehatan kelas 1 bagi setiap anggota keluarga, pendidikan anak yang terjamin serta beragam fasilitas lainnya? Rasanya tidak ada manusia yang tidak menginginkan itu, namun sebaliknya mereka siap berjuang dan berkompetisi demi menjadi manusia dengan “kriteria” itu. Berbagai macam cara pun dilakukan, yang salah satunya adalah  dengan  mengimitasi jalan hidup orang-orang yang memiliki “kriteria” tersebut (baca : menjadi lawyer, dokter, dan profesi “generally speaking” kelas atas lainnya).
Bahkan, demi memenangkan “kompetisi” itu, tidak sedikit praktek persaingan tidak sehat berlaku. Apapun rela dilakukan dan dikorbankan demi menggapai puncak kemenangan. Bukanlah hal yang tabu jika kemenangan itu diraih dengan cara-cara yang curang. Sebagai contoh, demi mengamankan satu jatah kursi di kampus tertentu, seorang  tamatan SMA yang sebenarnya memiliki kemampuan di atas rata-rata, namun karena tidak percaya diri akan kemampuannya, rela menyewa seorang joki ujian untuk memuluskan langkahnya kuliah di fakultas yang diimpikannya. Tak ubahnya dengan kisah orang tua yang melalui kekuatan finansial dan status/jabatannya suatu instansi mampu mempengaruhi staf fakultas atau yang lainnya  untuk “mengamankan” satu jatah kursi pendidikan untuk anaknya di kampus yang diinginkannya. Persaingan tidak sehat seperti ini, tidak saja “memaksakan” sesuatu pada tempatnya, tetapi juga menghambat orang lain yang seharusnya “ditempatkan” pada posisi itu. Maka benarlah, apa yang dikatakan oleh Viru Sahastrabudi – tokoh rektor dalam film 3 Idiots bahwa “life begins with a murder” dan “everything is fair in war and love”.
Itulah sedikit gambaran tentang iklim kompetisi pada kelompok mainstream. Jika sedemikian “ngerinya” praktek  untuk mencapai tujuan di kelompok mainstream, mengapa tidak memutuskan untuk menjadi kelompok anti mainstream? Sebagai contoh, ketika orang-orang mainstream berlomba-lomba untuk menjadi manajer dan CEO perusahaan kelas dunia, orang-orang anti mainstream akan lebih memilih pekerjaan “kelas dua” seperti pelukis, fotografer alam liar, penulis dan pekerjaan kreatif lainnya. Setidaknya, pada kelompok ini, persaingan lebih objektif dan sehat. Kelompok ini lebih menghargai ketulusan dan apreasiasi bukan sebaliknya mengejar popularitas dan ambisi. 
Well, ini sekali lagi merupakan sebuah pilihan. Antara mengikuti arus kebiasaan atau sebaliknya menjalani hidup dengan cara yang berbeda atau paling tidak dengan cara pandang yang berbeda. Tidak ada yang salah untuk menjadi kelompok mainstream, juga tidak berdosa untuk memutuskan pilihan sebagai pihak anti mainstream. Manusia di radian Mainstream adalah mereka yang menyukai kehidupan yang teratur, terencana dan terprediksi, sementara kelompok anti mainstream malah menyukai kehidupan sebaliknya. Mainstreamers- kalo boleh disebut demikian, lebih memilih untuk berada di zona nyaman, sementara para anti mainstream lebih menyukai tantangan, kehidupan penuh resiko.
Menjadi anti mainstream memang mengandung resiko, karena menjatuhkan diri pada pilihan hidup yang tak populis yang acap kali bertentangan dengan kebiasaan. Orang yang anti mainstream akan melihat sesuatu dari cara pandang yang lain. Keliatan aneh memang, dan terkesan “nyeleneh” kalau tidak ingin disebut gila. Mereka yang pada kelompok ini memiliki pemikiran yang kadang kala 180o berbeda dengan orang kebanyakan, karenanya tak salah mereka dilabeli dengan sebutan anti mainstream. Mereka mampu menginterpretasi sutau gejala atau fenomena dari cara yang paling mustahil sekalipun. Menganggap kebahagiaan sebagai suatu penderitaan serta meyakini bahwa kekayaan merupakan pangkal kemiskinan. Mereka itu unik. Keunikan itulah yang menjadikan mereka berbeda.
Menjadi anti mainstream memang tidaklah mudah. Akan banyak halangan dan rintangan yang dihadapi. Merasa terbuang dan dikucilkan dalam pergaulan. Bahkan tidak sedikit mereka ditentang dan di kecam. Bukan hanya itu, bahkan nyawa pun bias menjadi taruhan. Nicolas Copernicus, pencetus teori heliosentris, seorang anti mainstream di zamannya, harus dihukum mati karena mempunyai pandangan yang berbeda dengan pihak gereja. Meski menjadi anti mainstream tidaklah mudah, tapi itu setimpal dengan balasan akan kegigihan dan perjuangannya untuk bertahan pada zona tidak nyamannya. Lihatlah Copernicus, meskipun harus dibayar dengan nyawa, pada akhirnya teori yang dikemukakannya dapat diterima masyarakatan luas dan menjadikan dirinya sebagai salah satu ilmuwan besar dan sebagai tokoh dunia yang selalu dikenang sepanjang masa.
Di negeri ini tidak sedikit orang yang menjatuhkan pilihan sebagai kelompok anti mainstream yang kemudian berhasil mengibarkan “bendera” di langit tertinggi. Tirto Utomo misalnya. Sang pendiri Aqua. Dia merupakan salah satu anak negeri dengan label “antimainstream” paling klasik. Seorang penggebrak yang berani meninggalkan kenyamanannya dan menanggalkan jabatan dari perusahaan pelat merah nomer satu di negeri ini. Alih-alih bertahan dengan kemewahan itu, dia nekad “berjudi” sebagai “penjual air” di negeri yang kaya akan sumber daya air. Lebih gilanya lagi, dia memasarkan “air” tersebut jauh diatas harga bahan bakar minyak yang value­-nya lebih tinggi daripada air. Kenekatan dan kegilaannya memang menjengkelkan dan tak sedikit mengundang cibiran, namun berkat kegigihan dan keunikannya itu, Aqua menjadi merek dagang dengan penjualan nomor satu.
Ternyata, bukan hanya manusia yang bersikap antimainstream. Fauna pun tak ubahnya begitu. Paus dan kelelawar misalnya. Paus merupakan hewan anti mainstream yang berani menentang rantai makanan. Hukum ini menyatakan bahwa makhluk hidup tertentu merupakan sumber makanan bagi makhluk hidup lain yang tingkatan lebih tinggi. Semakin tinggi tingkatannya, semakin besar ukuran tubuhnya, maka semakin besar pula ukuran tubuh mangsaanya. Namun paus si anti mainstream ini tidak bertindak demikian. Meskipun dia merupakan yang terbesar, namun makanannya hanyalah plankton yang tak lain adalah penghuni ekosistem laut terkecil.  Demikian juga halnya dengan kelelawar, yang memilih jalan berbeda dari makhluk hidup lainnya. Jika makhluk hidup lainnya menjadikan malam sebagai waktunya “mati”, sebaliknya kelelawar menjadikan waktu itu saat yang tepat untuk “beraksi”. Dengan keunikan dan perbedaan tersebut, kedua jenis hewan itu diklasifikasikan sebagai hewan ultrasonik, hewan yang anti mainstream,yang memiliki kedudukan yang berbeda dengan yang lainnya.
Singkatnya, jika anda ingin “menang dan dikenang” maka cobalah bersikap anti mainstream!

Jumat, 20 Maret 2015

AKU DAN PARA GEMBALA

Pulang sekolah, aku langsung menuju dapur untuk menyantap makan siang dengan lauk seadanya. Selalu, dudukan setinggi 15 senti sebagai pengganti kursi kuseret ke arah pintu belakang rumah.  Aku makan dengan pintu dapur kubiarkan terbuka, dengan demikian aku bisa merasakan segarnya udara berhembus sambil sesekali memperhatikan orang yang lalu lalang di jalan setapak belakang rumah. Kalau beruntung, aku bisa menyaksikan gerak jatuh bebas buah pala dari pohonnya. Dalam kecepatan normal, buah yang menjadi primadona ekonomi kampung ini akan mendarat di bumi dalam waktu kurang dari 5 detik. 

Aku menjadikan pintu dapur sebagai venue santapan siang bukan tanpa sebab. Selain karena dapur kami tidak memiliki meja makan, alasan lainnya adalah di tempat ini aku bisa makan sambil "berbagi" makanan dengan ayam-ayam piaran. Entah apa sebab, batinku merasa begitu puas kala berbagi dengan mereka. Mungkin itu karena dilakukan dengan ikhlas, tanpa harus ada yang memelas. Ketika sisa-sisa nasi atau tulang kulemparkan, ayam-ayam itu saling berebut dan adu sikut.   Menyaksikan peristiwa ini, tak ada alasan bagiku untuk tidak mensyukuri hidup ini. Dilihat dari segi manapun, kehidupanku jauh lebih baik dari ayam-ayam ini. Meski dengan menu seadanya, menggunakan pinggan plastik yang sisi dalam dan luarnya terkelupas karena dimakan usia, tanpa meja makan, tanpa kursi rotan, nasibku tetaplah jauh lebih beruntung dibandingkan mereka. Hal-hal seperti inilah yang secara alami mengajariku arti bersyukur.

Kata orang, sehabis makan sebaiknya berikan waktu  untuk tubuh sejenak. Biarkan nasi turun terlebih dahulu,  demikian orang awam mengatakan. Namun itu tak berlaku bagiku, setelah urusan perut selesai, aku langsung menggelar tikar untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat islam. Setelahnya, aku segera mengenakan seragam "dinas" serta langsung bertugas selaku anak gembala. Tas punjut sudah diselempangkan di bahu, lengkap dengan botol minuman bekas yang sudah berganti warna, topi merek Tut Wuri Handayani dan sandal jipang sudah dala posisi, tak ketinggalan instrumen paling penting dalam pekerjaan ini, yakni sebilah parang yang sudah bermata akibat beradu dengan kerikil dan batu-batu.

Aku berangkat menuju ujung desa, tepat dibawah kaki bukit yang berpucuk pada hutan rimba. Orang-orang kampung menyebutnya geunteng. Disana, aku telah ditunggu oleh rekan - rekan sepengembala. Sama sepertiku, mereka juga tak kalah lengkap membawa peralatan perang, masing-masing mengenggam sebilah parang di tangan. Saat ini adalah musim meugoe, dimana sawah-sawah telah ditanami padi. Musim meugoe, juga disebut musim troen blang merupakan periode terberat bagi kami para gembala.  Betapa tidak, tugas dan tanggung jawab kami menjadi lebih bertambah. Di luar musim bercocok tanam, pagi-pagi sekali kerbau-kerbau dikeluarkan dari kandang dan dibiarkan lepas semaunya. Mereka dengan sendirinya akan kembali ke kandang pada sore harinya. Praktis, yang perlu kami lakukan hanya menambatkan tali kekang pada tali hidungnya. Berbeda kejadian pada musim meugoe ini. Setelah dikelurkan dari kandang, kerbau - kerbau ini harus terlebih dahulu digiring melewati geunteng, kemudian baru dilepaskan menuju hutan rimba. Siangnya, di ujung geunteng,  kami para gembala harus menunggu kerbau-kerbau kembali.  Dan ini tidak boleh terlambat, karena jika sedikit saja telat, maka sawah-sawah pak tani lah yang akan menjadi korbannya. Dan kamilah yang akan memikul hukumannnya.

Celakanya, dasar kerbau tak tahu diri. Mereka tidak selalu pulang dari jalan yang sama dan saling terpisah satu sama lainnya. Adalah kecil kemungkinannya kami mendapatkan kerbau-kerbau dalam satu kelompok yang utuh di kaki bukit. Kenyataannya kami harus menyisir paling tidak 4 titik untuk mengumpulkan mereka sebelum digiring kembali ke kandang masing-masing. Paya surunting di sebelah selatan, padang kereuleh di sebelah barat, serta paya saha dan carak masing-masing di sebelah barat laut dan utara. Kesemuanya titik itu merupakan medan yang berat untuk dilalui untuk ukuran gembala kecil seperti kami. Jalan yang berbukit-bukit serta dipenuhi semak belukar. Merupakan rumah bagi beberapa satwa liar seperti ular, kera dan babi hutan. Saat tiba musim nek - sebutan kepada harimau, tak jarang si raja hutan ini menyisir ke lokasi.

Menjadi sang gembala kau tak perlu takut bajumu kotor, faktanya baju teman sepengembalaanmu tak lebih bersih dari pakaian yang kau kenakan. Menjadi pengembala, kau tak perlu cemaskan kesehatan karena minum air mentah dari selang-selang yang bersiliweran, karena faktanya itu jauh lebih sehat dari kerbau-kerbaumu yang mandi dan minum di kubangan. Kau tak perlu kuatir kulitmu menghitam karena disengat matahari, faktanya dilihat darimanapun juga, warna kulitmu tak jauh berbeda dengan teman-temanmu yang lain. Kau tak perlu minder dengan bau tubuhmu yang berkeringat, karena bagaimanapun juga, bau kerbau-kerbaumu baunya jauh lebih menyengat. Kau tak perlu takut dicap sebagai tukang loh punggong keubue karena pekerjaanmu menggiring kerbau yang memungkinkan kamu melihat pantatnya setiap hari karena pekerjaanmu itu jauh lebih mulia daripada mereka-mereka berkantor dan sudah haji tapi tetap masih korupsi . Satu-satunya hal yang perlu kau cemaskan adalah kala teman-temanmu sudah mendapati kerbau mereka dan kau belum memperoleh petunjuk apa-apa. Pada kondisi ini, kau harus lebih gesit berlari, melihat kemungkinan disana-sini. Kau juga harus lebih giat bekerja, menyisir setiap lokasi yang ada. Bila hari menjelang senja, dan kau belum menjumpai kerbaumu juga, tak perlulah rasa cemasmu itu berubah menjadi takut. Karena dasar memang tipikal orang desa udik, teman-temanmu meski kerbau sudah di tangan, pantang bagi mereka berpulang, sebelum lengkap semua rombongan.

                  -----------------------------------------------------------------------------------

Sabtu, 7 Maret 2015 aku dan rombongan menyempatkan diri berkunjung ke Cleland Widlife Park, Adelaide Hills, South Australia. Kunjungan ini sengaja dilakungan dengan tujuan melihat si kanguru dari jarak dekat. Nyaris genap dua bulan aku tinggal di Australia, tanpa sekalipun berjumpa dengan spesies  fauna yang identik dengan negara ini. Rasanya belum sah tinggal di negeri ini, jikalau belum berkenalan dengan makhluk  berkantung ini. Sesampainya di lokasi, kucoba mempraktikkan "ilmu" gembala ku yang sudah lama tak terpakai. Dulu, aku terbiasa mengatakan "dong" pada gembalaanku. "Dong" dalam bahasa Aceh berarti perintah untuk berdiri/diam ditempat, dan seketika itu juga kerbauku turut dan patuh pada perintah sang tuan. Dengan begitu, aku dengan mudahnya membersihkan sesuatu yang tampak asing di badannya, melepaskan lintah-lintah raksasa yang melekat di sela-sela kaki dan pahanya, atau hanya untuk sekedar mengelus-ngelus kepalanya agar dia menjadi lebih tenang bersama sang tuannya. Sekarang, di "no worries" country ini perintah yang sama kututur pada kanguru-kanguru mengemaskan ini. Tentu dengan redaksi yang sudah ditranslasi, by simply saying "come on baby". Perkara kanguru ini patuh atau tidaknya, biarlah gambar ini yg menjelaskan semuanya!


Sabtu, 14 Maret 2015

Every Cloud Has Silver Lining (Part 2)

What could I do? Blaming and condemning? Did those two things are able to relieve my sorrow? Of course they would not help anything, wouldn't they? Don't beat yourself with the stick! that was one phrase that my cross culture  teacher used to say. Get helps, find another alternatives and solutions! Look at from the big picture! Do not be hopeless, do not be frustrated! Every cloud has a silver lining! Be positive the you will see the light at the end of the tunnel. Your story might not have such a happy beginning, but it did not mean you could not find something sweet at the end. It was your choice for the rest of your story.  I was pleased to close this story with happy ending which I mean t that I had to be sincere and candid due to this difficult and sorrow time. I remembered Allah saying through the holy Qur'an that "perhaps you hate a thing and it is good for you and you love a thing and it is bad for you, Allah knows while you know not" (Al-Baqarah : 216). In this case, I did believe in Allah.

Having said that I lost my chance to get an inexpensive text book, I kept looking for that book due its importance. I had to be sincere if I had to spend a lot for that academic stuff. I had been ready to look at a brand new book which might cost for US$ 311.33 and if I was lucky I could get the book on that price without an extra cost such as shipping and so on. It did not take me a lot of time to be awaken after that such unhappiness. Having realised that I was out of bid, I directly started to find another  that might likely for a brand new one. Before doing so, I simply looked at once again to the most lovely Australian website; Gumtree and wished that miracle might come up to that adorable website.

Thank goodness because there were other two posts  regarding the books towards the website. The first post offering for 55 AUD while the other for 10 AUD. It seemed that the latter was not  so reliable due to its extraordinary cheap price, therefore I put the choice aside and concerned on the former one. I had learned from my classmate that it was essential to be an early bird. Without wasting more time, I called the seller immediately. His response was good but a bit make me disappointed. He said that in five minutes ahead there would someone to pick up the book. In other words, he had just make a deal. Even though it seemed a little unreliable for the second ad, I just tried once again. Who knows that you might found something that you can trust in from the very unreliable one. I tried to call the seller of the second post but somehow I could not reach him due to the voice mail setting. As I said, it might not be a very promising advertisement. I tried to reach him through whatsapp application but was not successful because he was not online at the time. Again, I felt hopeless, I had just lost another chance due to the internet connection problem. Waiting for a while, I was starting to look at  a brand new book. However, I felt anxious for waiting whatsapp response. I did my last trial, to text him through sms, once writing the text, the response through whatsapp came. I read the message carefully and wishing for the victory. Lucky me, that the item was still available and simply i made a deal straight. A like new book had been purchased for only 10 AUD. Thank you God, thank you Gumtree.
This book costed 10 bucks only!


Minggu, 08 Maret 2015

Every Cloud Has A Silver Lining

The real fight has just been begun as the real course has just been started. In this period of time, the living might not be as same as the previous life  or at least the last two month period of life. Have been residing in Adelaide for almost two months, for settling, adapting and coping with the new system, people and environment in which so called preparation and orientation program. Generally speaking, there is no doubt how essential this agenda is. This program in which you prepare and get yourself ready before jumping to the real life, in this case the real lecture. And now, here i am in my real life as postgraduate student.

Having said that the preparation and orientation worked properly, I have to admit that the challenges and demands in the real course are not easy to overcome.  In the first week of the course, the thought of assignments, academic paper, due date, and so forth "cramp" my mind, not to mention the text books which deeply cost the pocket that every student should own for at least one for each course.  Talking about textbooks, like or dislike, a must or not, though the digitalise resources are in plenty  numbers on the of tip your finger, it is still good choice for the students to possess at least a single text book for every single course.

Due to its expensive price, most of the students prefer purchasing second hand textbook to buying brand new textbook. Lucky us that Gumtree - the most adorable website for Australian and people residing in Australia  does exist. For those people who are not familiar with the website, that Gumtree is a platform where you are able to find secondhand or used items in a very extremely low price. The items in that website may range from real estate products, academic stuffs, to automotive matters. There are plenty of lists you might be happy to look at in that platform for reasonable quality and satisfying cost. 

My first intense interaction with the link was when I was told by my classmate that he had just got the  extremely needed text book  through Gumtree website. The book was titled "Managing for Quality and Performance Excellence" and written by James R. Evans and William M. Lindsay. A brand new of the eight edition of this book costs US$ 311.33 while my fellow spent AUD 80 for that second hand book. Without clarifying for further explanation, I started to surf in that specific link. However, the only posting regarding the book was that my classmate had grabbed. Lucky him, an early bird  catches the worm. He started to find the book early and ended successfully. For me, the struggle keeps going on!

Feeling hopeless on Gumtree, then i looked at the Amazon and Ebay website for finding the book. Amazon listed a new brand of that item for US$ 311.33, shipping excluded! converting to Australian dollar, the number obviously increase. Putting the Amazon aside, then trying to find in Ebay. Thank goodness that it offered the book for 20AUD only. However, I could not simply purchase the stuff straight. The seller administered the item on the bidding list instead of selling it immediately. This meant that I had to wait for the ending while competing with other bidders. Lucky me that there were only two bidders (including myself) and my 25 AUD bid became the leader at the time. It was about 3 days to go to ending date. During the period, I wished that there will no any bidder at all so I could won the book for 25 AUD. Surprisingly, on the day before the closing date I was out of bid, and the number of bidders multiply. The bidding rate raised just over half a hundred  dollar. I kept my eyes on the track, I would raise my bidding rate to the last hour even to the last second of the closure. I wished that my strategy would not be copied by others which meant I was the only person to bid on the last minute of the termination. 

On the last hour of the auction, I managed myself to stay online with the website. Kept my eyes online, wishing and imagining that my victory would come very soon at the end. However the anticlimax story emerged. Somehow the internet connection was in trouble which put me out of connection. The last minutes of the termination had come and I was still facing the connection problem. I started to be panic and worry. The feeling of sadness and dissatisfied did profoundly exist at the time. I had no any idea what to do and what to fix for. I felt a lot of distressful and imagined myself on shame. About 5 minutes after the closing time, the internet connection was running as usual or in normal circumstance. What a very lovely and highly conspiracy if I might say. My anger and distressful doubled having known that I became a loser. If the internet connection had not been in trouble, I would have won my text book and saved plenty of my money and time. I was angry, I blamed everything, I blamed myself for deciding to raise the bidding rate to the last minute, and even the worst the I almost closely to blame the only ONE. Naudzubillahiminzalik!

To be continued....