Kamis, 10 Oktober 2013

The Alchemist, Perjuangan Mewujudkan Legenda Pribadi


         Kira-kira tiga atau empat bulan yang lalu, kala aku mendapati diriku terbaring lemah di pembaringan. Sudah empat hari lamanya, penyakit yang biasa disebut gejala tifus ini mengidap di tubuhku. Kondisi yang menjadikan hampir seluruh “aktivitas normal” ku berantakan. Aku benar-benar tak berdaya dibuatnya, bahkan untuk sekedar melakukan kegiatan personal seperti makan minum dan lainnya aku hampir tak kuasa.
Namun siapa sangka, jikalau ternyata pada titik seperti itulah aku mampu memahami salah satu bahasa universal. Bahwa Tuhan, sang maha cinta menurunkan kasih sayang-Nya tidak hanya dalam bentuk kemudahan dan kenikmatan. Sifat rahman dan rahim-Nya bisa saja mengambil bentuk lain seperti rasa sakit, ketidakberdayaan, kesusahan, serta kemalangan. Dengan begitu, kita bisa menyeimbangkan hidup. Bersyukur dikala mendapatkan kebahagian, bersabar bila dirundung kemalangan serta kesedihan.
Allah memang berkuasa, disaat penyakit ini membuatku tidak berdaya, Dia bekerja dengan cara-Nya. Aku yang biasanya pergi pagi pulang malam, harus mendapati diriku “terkurung” di ruangan itu saban hari dan malam. Tentu saja perasaan jemu berdatangan, kala “si bosan” dengan setia menemaniku seharian. Aku masih dapat mengingat, betapa koleksi lagu-lagu favoritku tak bisa berbuat banyak untuk menormalkan suasana, bahkan acara televisi yang gencar-gencarnya menyiarkan keberhasilan MU (klub sepakbola favoritku) merebut titel juara yang ke-20, tak jua mampu mengusir kebosanan yang melanda. Saat aku hampir menyerah pada keadaan, dengan mulai menumpahkan kekesalan dan mempertanyakan Tuhan tentang kasih sayang, Lalu Dia menunjukkan ke-Mahaan-Nya. Dia menuntun hati dan pikiranku, menggerakkan tangan dan mataku untuk saling berkoordinasi dan mencari bacaan dari koleksi ebook my roommate. Kuperiksa setiap folder dengan seksama, demi mendapatkan satu bacaan yang mungkin bisa menginspirasi sekaligus mengusir kejenuhan ini.
The moment of truth, inilah hikmah dibalik semua ini. Aku tersenyum kala mendapati salah satu judul buku dari koleksi itu. Buku itu memang telah lama kucari, baik  versi cetak maupun elektronik. Namun sepanjang pencarianku, tak jua buku itu kutemui. Tapi Allah punya rencana, disaat kondisi lemah tak berdaya, aku malah mendapatkannya tanpa mengeluarkan banyak tenaga, gratis pula! Mungkin inilah apa yang dalam buku itu disebut sebagai kemujuran atau keberuntungan pemula.
Sang Alkemis, demikian buku itu diberi judul. Aku berkenalan dengan buku itu secara tak sengaja yakni ketika menonton talkshow  di salah satu stasiun televisi swasta. Kebetulan, pembawa acara mengutip salah satu petikan dari buku itu. “when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it. Saat kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya
 Sang Alkemis atau dalam judul aslinya The Alchemist merupakan sebuah novel karangan Paulo Coelho, seorang penulis berkebangsaan Brazil yang terkenal. Novel ini menceritakan perjuangan seorang bocah gembala bernama Santiago dalam mewujudkan legenda pribadi. Legenda pribadi adalah apa yang selalu ingin kita tunaikan. Setiap orang, saat mereka belia, tahu apa legenda pribadi mereka. Pada titik kehidupan mereka itulah semuanya jelas dan segalanya mungkin terjadi. Mereka tidak takut untuk bermimpi, dan mendambakan segala yang mereka inginkan terwujud dalam hidup mereka. Tapi, dengan berlalunya waktu, suatu daya misterius mulai meyakinkan mereka bahwa mustahillah bagi mereka untuk mewujudkan legenda pribadi mereka.
Dalam petualangan mewujudkan legenda pribadinya itu, sang bocah bertemu dengan Malchizedek seorang raja dari negeri Salem, seorang pedagang kristal, seorang berkebangsaan Inggris, seorang Fatima, dan seorang alkemis. Meskipun terlihat berbeda, mereka itu pada dasarnya sama. Sama-sama mengajari sang bocah untuk terus memperhatikan pertanda. Pertanda yang mengarahkan sang bocah untuk memahami bahasa buana, sehingga ia bisa mengikuti legenda pribadi sampai pada kesimpulannya.
Seperti halnya sang bocah, aku, mereka, dan kamu-kamu yang sedang membaca tulisan ini juga memiliki legenda pribadi. Setiap orang memiliki legenda pribadi masing-masing. Penting sekali bagi orang itu untuk mengikuti legenda pribadinya masing-masing sampai ke kesimpulannya. Legenda pribadi itulah alasan utamanya untuk hidup.
Dalam mewujudkan legenda pribadi, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Disana dibutuhkan banyak perjuangan dan pengorbanan. Juga kesabaran! Seringkali dalam perjuangan itu kita akan dicoba. Bahwa cobaan yang paling berat adalah munculnya sifat pesimis dan perasaan takut gagal. Bila aku atau kamu-kamu berada pada titik kritis ini, ingatlah selalu dua prinsip ini. “Bahwa saat kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya” serta “Katakan pada hatimu bahwa takut akan kegagalan itu lebih buruk daripada kegagalan itu sendiri
Aku tahu, bahwa kamu-kamu sedang dalam petualangan mewujudkan legenda pribadimu. Demikian juga aku, dalam usaha mewujudkan apa yang menjadi legenda pribadiku. Aku berdoa untuk kesuksesan kalian, sebagaimana halnya kalian juga mendo’akan kesuksesanku. Terima kasih bagi kalian yang telah ikhlas hadir menjadi Malchizedek, pedagang Kristal, orang Inggris, Fatima, atau sang alkemis dalam kehidupanku. Mengajarkan aku untuk berani bermimpi dalam upaya mewujudkan legenda pribadi, serta meyakini bahwa semesta sedang berkonspirasi untuk kebaikan ini.

Selasa, 17 September 2013

Nyan Katroeh Dara Baro !

Puncak dari sebuah pesta pernikahan ialah saat rombongan linto-baro tiba. Pada masa itu, banyak “ritual adat dan prosesi sakral” diketengahkan. Beberapa ragam budaya muladi dari tari ranup lampuan, peutroen taweu, rah gaki, ratoh hingga pantun berbalas pantun dipertunjukkan.
      Pun begitu juga halnya dengan kenduri yang diadakan di rumahku. Klimaks acara yang dinanti pun tiba. 17.54, demikian angka yang ditunjukkan oleh benda yang melingkar dilengan kiriku, tak kurang tak lebih. Kala itu, diujung jalan mulai tampak sekawanan orang berjalan bergerombolan bak “pawai karnaval”. Mereka berjalan pelan, bahkan sangat pelan seakan-akan mereka tak pernah sampai ke tujuan. Di barisan paling depan, terlihat kedua mempelai berjalan penuh irama, sambil sekali-kali menampakkan senyum bahagia. Keduanya berjalan beriringan di bawah payung berwarna. Mungkin, secara filosofis itu dimaksudkan sebagai simbol agar keduanya bisa menjadikan pernikahan ini sebagai “payung” yang mampu “melindungi” bahtera keluarga mereka dari ancaman “panas, hujan, badai, maupun ombak besar” yang mungkin menghadang. Warna itu sendiri bisa diartikan, supaya keduanya selalu siap dan bersemangat dalam membina dan mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh warna.
Linto-baro beserta rombongan
     Begitu rombongan tersebut hendak memasuki pekarangan, terlebih dahulu mereka “dihadang” oleh delapan anak kecil yang mengenakan pakaian seragam berwarna kuning keemasan, kecuali “sang ratu” yang mengenakan seragam merah jambu. Anak-anak itu, pakaiannya dilengkapi ornamen berupa kain songket yang diselempangkan menyilang pada masing-masing dada mereka. Tak ketinggalan pula sanggul yang dihiasi pernak-pernik khas aceh melekat indah di masing-masing kepala. Siapakah mereka? Tak lain dan tak bukan merupakan para penari cilik yang siap menampilkan kesenian tari ranup lam puan untuk menyambut linto-baro beserta para rombongan. Diiringi musik yang sudah dipersiapkan, mulailah mereka unjuk kebolehan.
para penari siap untuk beraksi
       Tak sulit bagiku untuk menyebut nama penari itu satu per satu. Alasannya sungguh sederhana, karena kami (mereka dan aku tentunya) hidup bertetangga. Raudhah misalnya, rumahnya tepat disamping kanan rumahku, bahkan dinding rumah kami bersisian pula. Demikian pula Masda, rumahnya persis didepan rumahnya si Raudhah, kurang lebih 8 meter kedua rumah itu terpisah. Sementara Uswah, rumahnya di sebelah kanan rumahnya si Raudhah, namun tak seperti halnya dengan rumahku dimana dinding rumah kami bersisian, rumah mereka dipisahkan oleh ruas atau badan jalan. Indah dan “sang ratu” Wulan, keduanya merupakan sepupuan sekaligus merupakan cucu dari pemilik rumah yang berada di depan rumahku, agak serong ke kiri sedikit. Adapula si Wira, sebagaimana halnya Indah, juga bersepupuan dengan si Wulan. Jika hal itu tidak cukup bukti untuk mengatakan kami bertetangga, baiklah kucoba terangkan saja bahwa rumah Wira ada di arah belakang rumahku, agak serong kiri juga sedikit. Praktis hanya Nelvi dan Vivi saja yang tidak demikian (baca : bertetangga), namun untuk memperpanjang sedikit cerita, ternyata rumah  Nelvi bersisian pula dengan rumahnya Wira serta berdekatan dengan rumahnya Vivi. Itu berarti Vivi dan Nelvi bertetangga. Nelvi bertetetangga pula dengan Wira, sementara Wira adalah jiranku. Kesimpulannya sederhana, bahwa mereka (para penari itu) bulat-bulat merupakan tetanggaku.
    Umur mereka memang masih sangat belia, tak berarti pula penampilannya biasa-biasa saja. Sungguh, bakat mereka sangat luar biasa. Menari, melenggak lenggok bak penari india. Semuanya menari menyambut sang linto-baro dengan penuh suka cita, meski bayaran yang mereka terima mungkin tidaklah seberapa. Menyaksikan kenyataan ini, aku kemudian berniat di dalam hati, kuberi mereka pelatihan bahasa Inggris pasca pesta ini. Meski aku tidak bisa dalam jangka waktu yang lama, paling tidak itu ada walau hanya untuk sekali-dua.
    Akhirnya tibalah rombongan di depan pintu. Nyan katroeh dara baro ! demikian seruan terdengar dari dalam rumahku. Disambut para encik dan endatu, dituntunlah mereka menuju ruang tamu. Linto-baro dipapah secara perlahan, lalu keduanya disandingkan di atas pelaminan. Tak lupa kuarahkan lensa kamera ke arah keduanya, sembari mendapatkan fokus kamera, dalam hati kemudian aku menyisipkan doa “nanti, Insya Allah aku akan seperti ini juga, Amin”
      Sebelum mengakhiri cerita, aku ingin membuat sebuah pengakuan yang nilainya besar-kecil. Kecil untuk sebuah ungkapan, besar untuk sebuah kejujuran. Aku memang harus mengakui bahwa tulisan ini terinspirasi dari cerita dia, bahkan dengan judul yang hampir relatif sama. Meski, ceritaku masih kalah kelas dibandingkan dengan punyanya, aku harap tidak menyurutkan tekadku untuk menceritakannya. Aku memang masih amatiran,  dimana tulisanku belum terstruktur. Namun disinilah aku belajar, untuk mencari, mengembangkan, dan membentuk dan jati diri. Aku juga berdo’a, semoga aku bisa belajar langsung dari dia yang menginspirasi cerita ini melalui tulisannya. Kedengaran aneh memang, tapi apa salahnya aku mencoba atau hanya sekedar menitipkan doa. Bahwa aku ingin menulis bersamanya. Menulis apa saja, tentang kata, rasa atau bahkan cinta. Semoga, bila dia membaca tulisan ini dapat tersenyum bangga, bukan sebaliknya yang menyinggung perasaannya. Sungguh aku tak berniat melakukan itu. Sebelum aku lupa, sekali lagi aku ingin memberitahukannya, bahwa tulisannya sudah berjasa. Bolehlah dia berbangga hati, kalau tulisannya itu mampu menginspirasi, karena menulis memang untuk berbagi.

Rabu, 28 Agustus 2013

Baralek Gadang



Hari itu hari Minggu, tak kurang dari sebulan aku telah berada di kampungku. Meskipun kota Medan masih kurindu, namun Tapaktuan selalu di hatiku. Perlu kujelaskan sedikit kawan, selama di Tapaktuan hatiku susah senang. Senang bisa berkumpul bersama keluarga. Sebulan penuh menjalani ibadah puasa bersama orang tua. Suatu hal yang tak pernah kualami sebelumnya, selama aku masih di bumi Sumatera Utara. Namun, sebagaimana telah kutakan sebelumnya, selama disini hatiku tidak senang saja, namun juga ada susahnya, terutama bila mengingat jaringan internet yang hanya ala kadarnya. :)
Ah, tak perlu kurisaukan perkara itu, yang jelas sudah sebulan waktu berlalu. Meski lebaran ini aku tak sempat beli baju baru, namun aku banyak berjumpa dengan teman-temanku yang dulu.
Kawan, ingin aku mengatakan, bahwa di rumah bakal ada pesta pernikahan pasca lebaran. Eiits, jangan berkesimpulan dulu, itu bukan pernikahanku, tapi pesta abang kandungku.Bila tidak ada aral melintang, hajatnya akan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Jika tidak ada halangan bolehlah kawan datang beramai-ramai.

Uroe Thop Kupi & Peuget Sagon-sagon
            Orang Aceh identik dengan budaya minum kopi. Bagi kami, mungkin kopi tidak lagi sebatas minuman. Kopi sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial. Dia telah menjadi ikon, simbol atau bahkan motor dalam kami berkehidupan. Maka tak usah heran bila disepanjang jalan, di daerah kami banyak warung kopi berdiri berjejeran.
            Boleh-boleh saja kami berkesimpulan, bahwa kopi tak bisa dipisahkan dari kehidupan. Karenanya pada momen baralek gadang ini, maka kopi juga yang masuk ke dalam bagian perhitungan. Mengingat nanti bakal banyak tamu yang berdatangan, tentu saja jumlah kilogram kopi yang dibutuhkan jauh lebih besar dari kebiasaan.
Untuk mengantisipasi resiko kekurangan kopi di hari pesta, pemilik acara biasanya membuat persiapan yaitu melalui budaya thop kupi sebelum hari H. Tak terkecuali dengan rumahku, juga melakukan hal yang sama yaitu membuat acara thop kupi. Thop kupi disini diartikan sebagai proses pengolahan bahan baku kopi (biji kopi mentah) menjadi bubuk kopi yang siap untuk diseduh (bahan utama pembuatan kopi). Pada kegiatan ini, proses yang terjadi  terdiri atas dua tahapan.  Pertama menggonseng biji kopi sampai berwarna hitam pekat, serta tahap menumbuk biji kopi hingga menjadi bubuk kopi yang biasanya menggunakan alu dan lesung.
 
Persiapan menuju hari H
  Samar-samar terdengar celoteh dari arah halaman belakang, kiranya disana telah banyak berkumpul orang. Mereka sedang melakukan berbagai macam kegiatan, saling bantu-membantu demi lancarnya pesta pernikahan abangku. Bermodalkan kamera saku, dengan sigap aku mengabadikan momen berharga itu.
Selain thop kupi, pada hari itu juga mereka membuat sagon-sagon. Sagon-sagon merupakan sejenis penganan atau kudapan yang terbuat dari campuran kelapa parut, tepung dan gula pasir. Campuran tersebut kemudian digonseng hingga warnanya berubah menjadi kecoklatan serta mengeluarkan aroma yang khas. Kemudian campuran tersebut dibungkus dengan kertas (biasanya menggunakan kertas koran atau kertas reject) menjadi batangan-batangan dengan panjang 15 cm dan diameter 2 cm. Sebagai sentuhan terakhir, batangan tersebut diberi pita di sekelilingya. Perlu kuberi tahu kawan, ternyata sagon-sagon tidak dibuat pada setiap acara. Ia khusus ditujukan untuk pesta pernikahan saja. Jangan tanyakan apa maksud itu semua, karena sampai tulisan ini dibuat aku juga masih bertanya-tanya :)

Multi Talented for Multi Tasking
Sebagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya, jika setiap acara aku selalu menjadi “tumbalnya”. Aku menyebutnya demikian bukan karena aku menjadi korban, tetapi lebih karena ketidakjelasan pekerjaan yang aku lakukan. Sepertinya sudah menjadi nasib si anak bungsu, selalu menjadi sasaran peluru (baca : yang disuruh-suruh) serta yang memiliki job desc yang paling tak menentu. Banyak hal yang mesti dilakukan, mulai dari perkara undang-mengundang sampai kepada urusan centang perenang. Dari seorang tukang kukur kelapa, disuruh berkoordinasi dengan organisasi pemuda mengenai teknis pelaksaanaan acara, jadi tukang antar sana  jemput sini, beli itu beli ini, hingga perkara seorang seksi dokumentasi. Maka jadilah aku pada hari itu multi talented man for multi tasking. J
Sejujurnya menjadi seperti itu sungguh mengasyikkan. Bukan apa-apa, mengerjakan hal seperti itu benar-benar membutuhkan suatu talenta. Pekerjaan ini tidak hanya mensyaratkan tenaga yang prima saja, tapi bagaimana kita mampu bergerak cepat dengan mengambil tindakan yang tepat. Dia juga bisa digunakan melatih daya ingat, karena kita dituntut bekerja secara simultan, mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan. Dia juga bisa untuk melatih emosi dan kesabaran, karena berdasarkan pengalaman, sering aku menemukan kondisi dimana pekerjaan pertama belum diselesaikan datang tugas kedua sudah menghadang. Baru hendak melakukan pekerjaan kedua, lalu datang perintah ketiga, demikian seterusnya. Apa kubilang, kalau pekerjaan ini sungguh mengasyikkan, selain sifatnya yang menantang dia juga bisa digunakan untuk melatih emosi dan kesabaran.
Sekedar sharing untuk orang yang kira-kira sebelas-duabelas dengan posisiku, terutama bagi mereka yang anak bungsu. Berbahagialah kawan mendapat amanat seperti itu, karena tidak semua orang mendapat kesempatan itu. Bersyukurlah kita karena dianggap sebagai orang dengan mobilisasi tinggi, dengan demikian patut diberikan kepercayaan untuk mengerjakan hal dalam berbagai lini. Ada beberapa saran dariku kawan yang mungkin bisa dijadikan pelajaran. Pertama, selalu ingat agar kunci kereta selalu siaga dalam genggaman. Kedua, jaga stamina mengingat pekerjaan yang kita lakukan itu bisa bermacam rupa. Ketiga, upayakan memiliki catatan agar tidak ada satu jenis pekerjaanpun yang terlewatkan. Keempat, banyaklah berdo’a agar apa yang telah kita lakukan sesuai seperti yang diharapkan oleh yang menugaskannya. :)

Jumat, 23 Agustus 2013

Lebaran tak Lagi Fitri




Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.
Laailaahaillallah walllahuakbar.
Allahuakbar  walillahilhamd.
Gema takbir masih terdengar sahut menyahut dari berbagai penjuru. Anak-anak terlihat bergembira merayakan hari kemenangan bersama teman-teman seusianya. Mereka berlari-lari, berkejar-kejaran sambil menyandang senapan mainan yang mungkin baru saja dibelikan orangtuanya. Sekali-kali terdengar suara dentuman yang berasal dari petasan dan kembang api. Orang dewasa pun tak ubahnya begitu, semuanya tampak larut dalam euforia idul fitri dimana sesuai tradisi merupakan momen yang tepat untuk bersilaturahmi. 
Tampak di salah satu sudut kota ramai dipenuhi oleh orang-orang berbusana serba baru. Diantara mereka ada yang berjalan kaki, tapi tak sedikit pula yang menggunakan mobil setingkat mercy. Semuanya bermuara pada satu pintu yang sama. Pintu rumah yang beratap warna biru yang hanya ada satu di sudut itu. Setiap orang yang berlalu tentu tahu siapa pemiliknya. Abdul Fariz, demikian nama pemiliknya. Lazimnya orang-orang memanggilnya dengan sebutan pak Fariz atau cik Fariz saja.
Pak Fariz atau Cik Fariz termasuk orang terpandang di lingkungannya. Jangan tanyakan sampai dimana tingkat pendidikannya. Mungkin dia hanya kalah dari pak Muhammad Jabbar yang kini menjadi seorang guru besar. Pepatah mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka begitu juga dengan anak-anaknya. Semuanya berpendidikan tinggi lagi teruji, bahkan anaknya yang paling tua sudah mengantongi dua ijazah dari luar negeri.
Mari kuberi tahu kawan, cik Fariz dulunya merupakan staff karyawan di salah satu instansi provinsi. Pengalaman dan kecakapan kiranya mengantarkannya kini menjadi asisten menteri. Kawan tentu bisa memahami, dengan posisi ini kedudukan sosial kemasyarakatannya tak usah disangsikan lagi. Jangan heran, kalo momen idul fitri ini rumahnya selalu ramai dikunjungi. Para tamu datang silih berganti, kebanyakan dari mereka merupakan para relasi, tak ketinggalan juga sanak famili.
Beruntung pak Fariz memiliki pekarangan rumah yang luas. Kendaraan yang datang dapat parkir dengan bebas. Tak jarang pula separuh badan jalan raya juga jadi imbas. Untungnya ada satpam dan para petugas, sehingga semuanya tak perlu cemas.
Kuharap kawan bisa mengerti, mengingat posisinya sebagai asisten menteri, pasti memiliki banyak relasi. Tentu, para relasi tidak ingin melepaskan kesempatan ini, menjadikan idul fitri untuk bersilaturahmi serta membicarakan kursi. Bukankah sudah menjadi adat, dimana padi dimasak, disitu pipit datang berbondong. Tak perlulah kurasa menjelaskan pepatah itu, kiranya kawan semua tahu apa maksudku. 
Lain rumah cik Fariz lain pula dengan rumah bi Atun. Meski hanya berjarak beberapa kaki, pemandangan kontras di antara kedua rumah ini. Jika rumah cik Fariz penuh sesak yang mendatangi, maka rumah janda satu anak yang sehari-harinya berprofesi sebagai tukang cuci ini tampak sepi. Tak banyak yang datang mengunjungi,  hanya sekali-kali datang sanak famili atau mungkin tetangga kanan-kiri. Selebihnya kembali sepi, seolah-olah hari ini bukanlah idul fitri.
Aku tak perlu protes pada keadaan dengan menyalahkan cik Fariz atau iba terhadap bi Atun. Menurut hematku, mereka bukanlah subjek utama, justru sebaliknya mereka merupakan objek penderita. Mereka hanyalah korban. Korban ketidakadilan  dari masyarakat sekitar yang menganggap manusia  itu berbeda atau berkasta-kasta. Padahal setiap manusia itu sama saja, yang membedakan cuma tingkat ketakwaan pada penciptanya. Apalagi lebaran adalah hari yang istimewa, Ki Hajar Dewantara pernah mengatakannya. Pada hari itu semua manusia tanpa mengenal usia dan status sosial saling bersilaturahmi dan mengunjungi. Tidak ada rasa rendah diri, tak ada rasa lebih diri.
Jauh panggang dari api, hal itu tidak berlaku lagi kini. Lebaran tak lagi fitri, ia telah menjadi praktek diskriminasi yang berkedok silaturahmi. Lebaran tidak untuk si miskin. Lebaran hanya untuk orang-orang terhormat, bagi mereka yang menjabat, mereka yang rumahnya bertingkat dan bagi mereka yang kemana-mana selalu mengendarai kendaraan roda empat. Singkatnya, lebaran kini tak lagi fitri.