Jumat, 23 Agustus 2013

Lebaran tak Lagi Fitri




Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.
Laailaahaillallah walllahuakbar.
Allahuakbar  walillahilhamd.
Gema takbir masih terdengar sahut menyahut dari berbagai penjuru. Anak-anak terlihat bergembira merayakan hari kemenangan bersama teman-teman seusianya. Mereka berlari-lari, berkejar-kejaran sambil menyandang senapan mainan yang mungkin baru saja dibelikan orangtuanya. Sekali-kali terdengar suara dentuman yang berasal dari petasan dan kembang api. Orang dewasa pun tak ubahnya begitu, semuanya tampak larut dalam euforia idul fitri dimana sesuai tradisi merupakan momen yang tepat untuk bersilaturahmi. 
Tampak di salah satu sudut kota ramai dipenuhi oleh orang-orang berbusana serba baru. Diantara mereka ada yang berjalan kaki, tapi tak sedikit pula yang menggunakan mobil setingkat mercy. Semuanya bermuara pada satu pintu yang sama. Pintu rumah yang beratap warna biru yang hanya ada satu di sudut itu. Setiap orang yang berlalu tentu tahu siapa pemiliknya. Abdul Fariz, demikian nama pemiliknya. Lazimnya orang-orang memanggilnya dengan sebutan pak Fariz atau cik Fariz saja.
Pak Fariz atau Cik Fariz termasuk orang terpandang di lingkungannya. Jangan tanyakan sampai dimana tingkat pendidikannya. Mungkin dia hanya kalah dari pak Muhammad Jabbar yang kini menjadi seorang guru besar. Pepatah mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka begitu juga dengan anak-anaknya. Semuanya berpendidikan tinggi lagi teruji, bahkan anaknya yang paling tua sudah mengantongi dua ijazah dari luar negeri.
Mari kuberi tahu kawan, cik Fariz dulunya merupakan staff karyawan di salah satu instansi provinsi. Pengalaman dan kecakapan kiranya mengantarkannya kini menjadi asisten menteri. Kawan tentu bisa memahami, dengan posisi ini kedudukan sosial kemasyarakatannya tak usah disangsikan lagi. Jangan heran, kalo momen idul fitri ini rumahnya selalu ramai dikunjungi. Para tamu datang silih berganti, kebanyakan dari mereka merupakan para relasi, tak ketinggalan juga sanak famili.
Beruntung pak Fariz memiliki pekarangan rumah yang luas. Kendaraan yang datang dapat parkir dengan bebas. Tak jarang pula separuh badan jalan raya juga jadi imbas. Untungnya ada satpam dan para petugas, sehingga semuanya tak perlu cemas.
Kuharap kawan bisa mengerti, mengingat posisinya sebagai asisten menteri, pasti memiliki banyak relasi. Tentu, para relasi tidak ingin melepaskan kesempatan ini, menjadikan idul fitri untuk bersilaturahmi serta membicarakan kursi. Bukankah sudah menjadi adat, dimana padi dimasak, disitu pipit datang berbondong. Tak perlulah kurasa menjelaskan pepatah itu, kiranya kawan semua tahu apa maksudku. 
Lain rumah cik Fariz lain pula dengan rumah bi Atun. Meski hanya berjarak beberapa kaki, pemandangan kontras di antara kedua rumah ini. Jika rumah cik Fariz penuh sesak yang mendatangi, maka rumah janda satu anak yang sehari-harinya berprofesi sebagai tukang cuci ini tampak sepi. Tak banyak yang datang mengunjungi,  hanya sekali-kali datang sanak famili atau mungkin tetangga kanan-kiri. Selebihnya kembali sepi, seolah-olah hari ini bukanlah idul fitri.
Aku tak perlu protes pada keadaan dengan menyalahkan cik Fariz atau iba terhadap bi Atun. Menurut hematku, mereka bukanlah subjek utama, justru sebaliknya mereka merupakan objek penderita. Mereka hanyalah korban. Korban ketidakadilan  dari masyarakat sekitar yang menganggap manusia  itu berbeda atau berkasta-kasta. Padahal setiap manusia itu sama saja, yang membedakan cuma tingkat ketakwaan pada penciptanya. Apalagi lebaran adalah hari yang istimewa, Ki Hajar Dewantara pernah mengatakannya. Pada hari itu semua manusia tanpa mengenal usia dan status sosial saling bersilaturahmi dan mengunjungi. Tidak ada rasa rendah diri, tak ada rasa lebih diri.
Jauh panggang dari api, hal itu tidak berlaku lagi kini. Lebaran tak lagi fitri, ia telah menjadi praktek diskriminasi yang berkedok silaturahmi. Lebaran tidak untuk si miskin. Lebaran hanya untuk orang-orang terhormat, bagi mereka yang menjabat, mereka yang rumahnya bertingkat dan bagi mereka yang kemana-mana selalu mengendarai kendaraan roda empat. Singkatnya, lebaran kini tak lagi fitri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar