Allahuakbar,
Allahuakbar, Allahuakbar.
Laailaahaillallah
walllahuakbar.
Allahuakbar walillahilhamd.
Gema
takbir masih terdengar sahut menyahut dari berbagai penjuru. Anak-anak terlihat
bergembira merayakan hari kemenangan bersama teman-teman seusianya. Mereka
berlari-lari, berkejar-kejaran sambil menyandang senapan mainan yang mungkin
baru saja dibelikan orangtuanya. Sekali-kali terdengar suara dentuman yang
berasal dari petasan dan kembang api. Orang dewasa pun tak ubahnya begitu,
semuanya tampak larut dalam euforia idul fitri dimana sesuai tradisi merupakan
momen yang tepat untuk bersilaturahmi.
Tampak
di salah satu sudut kota ramai dipenuhi oleh orang-orang berbusana serba baru.
Diantara mereka ada yang berjalan kaki, tapi tak sedikit pula yang menggunakan
mobil setingkat mercy. Semuanya
bermuara pada satu pintu yang sama. Pintu
rumah yang beratap warna biru yang hanya ada satu di sudut itu. Setiap orang yang berlalu tentu tahu siapa pemiliknya. Abdul Fariz, demikian nama pemiliknya.
Lazimnya orang-orang memanggilnya dengan sebutan pak Fariz atau cik Fariz saja.
Pak
Fariz atau Cik Fariz termasuk orang terpandang di lingkungannya. Jangan
tanyakan sampai dimana tingkat pendidikannya. Mungkin dia hanya kalah dari pak Muhammad Jabbar
yang kini menjadi seorang guru besar. Pepatah mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka begitu juga dengan anak-anaknya.
Semuanya berpendidikan tinggi lagi teruji, bahkan anaknya yang paling tua sudah
mengantongi dua ijazah dari luar negeri.
Mari
kuberi tahu kawan, cik Fariz dulunya merupakan staff karyawan di salah satu
instansi provinsi. Pengalaman dan kecakapan kiranya mengantarkannya kini
menjadi asisten menteri. Kawan tentu bisa memahami, dengan posisi ini kedudukan
sosial kemasyarakatannya tak usah disangsikan lagi. Jangan heran, kalo momen
idul fitri ini rumahnya selalu ramai dikunjungi. Para tamu datang silih
berganti, kebanyakan dari mereka merupakan para relasi, tak ketinggalan juga
sanak famili.
Beruntung
pak Fariz memiliki pekarangan rumah yang luas. Kendaraan yang datang dapat parkir dengan bebas. Tak jarang pula separuh badan jalan raya juga
jadi imbas. Untungnya ada satpam dan para petugas, sehingga semuanya tak perlu cemas.
Kuharap
kawan bisa mengerti, mengingat posisinya sebagai asisten menteri, pasti
memiliki banyak relasi. Tentu, para relasi tidak ingin melepaskan kesempatan
ini, menjadikan idul fitri untuk bersilaturahmi serta membicarakan kursi.
Bukankah sudah menjadi adat, dimana padi
dimasak, disitu pipit datang berbondong. Tak perlulah kurasa menjelaskan
pepatah itu, kiranya kawan semua tahu apa maksudku.
Lain
rumah cik Fariz lain pula dengan rumah bi Atun. Meski hanya berjarak beberapa
kaki, pemandangan kontras di antara kedua rumah ini. Jika rumah cik Fariz penuh
sesak yang mendatangi, maka rumah janda satu anak yang sehari-harinya
berprofesi sebagai tukang cuci ini tampak sepi. Tak banyak yang datang
mengunjungi, hanya sekali-kali datang
sanak famili atau mungkin tetangga kanan-kiri. Selebihnya kembali sepi, seolah-olah
hari ini bukanlah idul fitri.
Aku tak
perlu protes pada keadaan dengan menyalahkan cik Fariz atau iba terhadap bi
Atun. Menurut hematku, mereka bukanlah subjek utama, justru sebaliknya mereka
merupakan objek penderita. Mereka hanyalah korban. Korban ketidakadilan dari masyarakat sekitar yang menganggap
manusia itu berbeda atau berkasta-kasta.
Padahal setiap manusia itu sama saja, yang membedakan cuma tingkat ketakwaan
pada penciptanya. Apalagi lebaran adalah hari yang istimewa, Ki Hajar Dewantara
pernah mengatakannya. Pada hari itu semua manusia tanpa mengenal usia dan
status sosial saling bersilaturahmi dan mengunjungi. Tidak ada rasa rendah diri,
tak ada rasa lebih diri.
Jauh
panggang dari api, hal itu tidak berlaku lagi kini. Lebaran tak lagi fitri, ia
telah menjadi praktek diskriminasi yang berkedok silaturahmi. Lebaran tidak
untuk si miskin. Lebaran hanya untuk orang-orang terhormat, bagi mereka yang
menjabat, mereka yang rumahnya bertingkat
dan
bagi mereka yang kemana-mana selalu mengendarai kendaraan roda empat.
Singkatnya, lebaran kini tak lagi fitri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar