Rabu, 14 Mei 2014

Menjadi Tenaga Pengajar Itu Asyik !

Apa yang terlintas di benak pembaca sekalian ketika mendengar atau membaca istilah tentang “tenaga pengajar”. Siapakah dia itu yang pantas menyandang gelar “pengajar”. Adakah dia itu guru di sekolah, guru ngaji di TPA, ustadz dan para da’i, dosen di kampus, tentor di bimbingan belajar, guru silat, pelatih sepakbola, pelatih bulu tangkis, pelatih bola voli dan pelatih beberapa cabang olahraga laiinya? Haruskah yang dikatakan “pengajar” itu mesti memiliki seragam yang khusus, harus memiliki instansi yang terakreditasi, serta haruskah dia itu seorang pegawai negeri?
Istilah pengajar pasti sangat berkaitan dengan istilah belajar. Sedangkan terminasi belajar itu sendiri sangat berdekatan dengan kata pelajar. Kesimpulan dari silogisme ini adalah seorang pengajar itu, mesti dan harus dekat dengan para pelajar. Kedekatan disini tidak saja diartikan sebagai kedekatan fisik dalam proses interaksi yang disebut dengan kegiatan belajar mengajar. Kedekatan fisik memang perlu, namun kedekatan emosional jauh lebih perlu. Seorang pengajar selain memahami tentang materi ajar, juga harus mampu menemukenali karakteristik, selera, sikap, kondisi emosional dan kepribadian dari seorang pelajar.
Memahami karakteristik dan kepribadian seorang pelajar bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Namun begitu, bukan berarti hal tersebut tidak bisa disiasati. Kabar baiknya adalah apabila hal ini bisa kita kuasai, maka kemudahan dan keberhasilan yang akan kita temui. Untuk mampu memahami hal itu, terlebih dahulu kita harus mampu menjadi seorang pendengar yang baik, bukan sebagai sebagai pembicara yang baik. Kelihatannya aneh memang, bukankah secara kasat mata dan logika sederhana justru pengajar itulah yang seharusnya lebih dominan berbicara? Apa korelasi antara menjadi pengajar yang berhasil dengan pendengar yang baik? Adakah dia merupakan suatu ketentuan alam?
Berbicara mengenai ketentuan alam berarti kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas dan general. Sesuatu yang general berarti dia berlaku umum, dan segala sesuatu yang berlaku secara umum maka kita  menyebutnya dengan hukum alam. Untuk membahas atau berbicara mengenai hukum alam, maka kita kembali kepada alam dan penciptaan. Secara alamiah, manusia diciptakan dengan sepasang indera pendengar (telinga) dan hanya satu alat yang digunakan untuk berbicara (mulut). Ini berarti jumlah alat pendengaran kita dua kali lipat lebih banyak daripada alat untuk berbicara. Kesimpulan yang paling sahih dari kenyataan ini adalah kita diajarkan oleh alam untuk mendengar lebih baik dua kali lebih banyak daripada menjadi pembicara yang baik. Ini juga bisa diartikan urgensi menjadi pendengar yang baik lebih dipentingkan daripada hanya menjadi seorang pembicara yang baik. Atau dengan kata lain, untuk menjadi seorang pembicara yang baik, maka kita haruslah menjadi seorang pendengar yang baik.
Andrea Harefa, dalam bukunya Menjadi Manusia Pembelajar (2008) memberikan tiga ciri seseorang dapat dikatakan sebagai manusia pembelajar. Manusia pembelajar adalah seseorang yang memiliki prinsip berikut : menganggap setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah dan setiap saat merupakan waktu yang tepat untuk belajar. Senada dengan pemikiran Andreas Harefa, bila ada istilah menjadi manusia pembelajar, maka juga ada terminologi menjadi manusia pengajar. Manusia pengajar adalah mereka-mereka yang berhasil mengilhami dan menginspirasi para anak didiknya menjadi seorang manusia pembelajar.
Saya memang tidak berkecimpung di dunia kepengajaran, sebagaimana halnya bahwa saya merupakan lulusan Fakultas Teknik, bukan Fakultas Keguruan. Mungkin satu-satunya hal yang bisa “mengaitkan” atau “menghubungkan” saya dengan dunia kepengajaran adalah pengalaman saya sebagai seorang tentor, tutor atau guru privat ketika saya sedang dalam masa studi di perguruan tinggi. Cerita mengenai saya sebagai seorang tentor merupakan sebuah kisah yang memiliki cita rasa tersendiri.
Merupakan hal yang lumrah jikalau kebanyakan mahasiswa Perguruan Tinggi  terlibat dalam organisasi di kampus. Apakah organisasi tersebut berbasis bidang keilmuan, keagaamaan, ideologi, kedaerahan, maupun kewirausahaan. Saya juga terlibat aktif dalam berbagai organisasi di kampus. Dari pergaulan antar sesama anggota dan pengurus lainnya, suatu ketika saya ditawarkan sebuah kesempatan untuk menjadi guru privat bagi pelajar SMA. Ada keraguan apakah saya bisa menjalani dan menjadi partner yang baik untuk siswa yang akan saya bimbing. Adakah saya pantas untuk dia? Apakah kemampuan yang saya miliki mampu memenuhi kebutuhannya? Akankah saya bisa memberikan “value added” kepadanya? “Kita coba saja dulu, kalau tidak cocok berhenti di tengah jalan tidak apa-apa dan itu sudah biasa!”. Demikian apa yang dikatakan teman saya untuk meyakinkan saya mengambil peluang itu, dan akhirnya resmilah saya menjadi tentor kala itu.
Honor yang diberikan memang tidaklah seberapa, namun untuk ukuran kantong mahasiswa seperti saya, itu merupakan sebuah jumlah nominal yang menggiurkan dan lebih dari cukup untuk saya menyimpannya. Beruntung juga saya bukan perokok, sehingga nominal yang bisa saya simpan peluangnya menjadi lebih besar. Pelajaran moral pertama, keuntungan bagi non perokok adalah pandai bersyukur,karena mampu menjadikan sesuatu yang kecil menjadi sesuatu yang lebih dari cukup. Karena dia pandai bersyukur, maka hidupnya akan bahagia.
Menjadi tentor/tutor itu sangat mengasyikkan. Kita tidak diharuskan mengeluarkan energi ekstra (otot dan tenaga yang kuat) untuk melakukannya. Hanya butuh waktu 60 atau 90 menit saja untuk setiap pertemuannya. Tidak harus membanting tulang, tidak mesti berpeluh keringat karena sengatan matahari. Kita hanya membutuhkan kesabaran dan kemampuan untuk menjelaskan materi kepada anak didik. Sesekali kita membantu dan mengajari anak didik bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan rumah dan tugas-tugasnya.
Ada beberapa keuntungan menjadi seorang tentor/tutor/guru privat. Pertama, pekerjaan ini menuntut orangnya memiliki kemampuan untuk menjelaskan sesuatu dengan baik, dengan demikian, akan membentuk kemampuan komunikasi yang baik. Kedua, seorang tentor dituntut memiliki kemampuan mememotivasi anak didik, artinya dia melatih kemampuan kepemimpinan dan manajerialnya. Ketiga, dengan mengajari anak didik terhadap materi ajar, akan menolong si tentor untuk mengingat dan merekam kembali materi ajar yang sudah dipelajarinya, ini artinya pekerjaa seorang tentor bukan sebatas mengajar, tetapi juga belajar untuk dirinya sendiri. Keempat, selain memberikan benefit, menjadi tentor juga mendatangkan profit. Memberikan benefit kepada anak didik, profit berupa honor untuk kita sebagai imbalannya. Pengalaman saya ketika menjadi tentor ketika sedang melakukan studi di salah satu universitas negeri di Sumatera Utara, saya bisa menggunakan honor yang saya terima dari menjadi seorang tentor untuk membiayai kehidupan selama disana. Untuk membayar uang kuliah, uang kos, uang makan dan minum, membeli peralatan dan kelengkapan studi (buku, laptop, dsb), dan bahkan, Alhamdulillah saya bisa membeli sebuah sepeda motor baru dari hasil tabungan menjadi seorang tentor.
Menjadi seorang tenaga pengajar asyik bukan?


1 komentar:

  1. Semoga keinginan menjadi pengajar benar-benar menjadi kenyataan suatu hari nanti ya bang. Perhatikan tanda baca dan kata-kata yang mubazir yaa. Overal, Greget bingid ceritanyaa.!

    BalasHapus