Apa yang terlintas di
benak pembaca sekalian ketika mendengar atau membaca istilah tentang “tenaga
pengajar”. Siapakah dia itu yang pantas menyandang gelar “pengajar”. Adakah dia
itu guru di sekolah, guru ngaji di TPA, ustadz dan para da’i, dosen di kampus,
tentor di bimbingan belajar, guru silat, pelatih sepakbola, pelatih bulu
tangkis, pelatih bola voli dan pelatih beberapa cabang olahraga laiinya?
Haruskah yang dikatakan “pengajar” itu mesti memiliki seragam yang khusus,
harus memiliki instansi yang terakreditasi, serta haruskah dia itu seorang
pegawai negeri?
Istilah pengajar pasti
sangat berkaitan dengan istilah belajar. Sedangkan terminasi belajar itu
sendiri sangat berdekatan dengan kata pelajar. Kesimpulan dari silogisme ini
adalah seorang pengajar itu, mesti dan harus dekat dengan para pelajar.
Kedekatan disini tidak saja diartikan sebagai kedekatan fisik dalam proses
interaksi yang disebut dengan kegiatan belajar mengajar. Kedekatan fisik memang
perlu, namun kedekatan emosional jauh lebih perlu. Seorang pengajar selain
memahami tentang materi ajar, juga harus mampu menemukenali karakteristik,
selera, sikap, kondisi emosional dan kepribadian dari seorang pelajar.
Memahami karakteristik
dan kepribadian seorang pelajar bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan.
Namun begitu, bukan berarti hal tersebut tidak bisa disiasati. Kabar baiknya
adalah apabila hal ini bisa kita kuasai, maka kemudahan dan keberhasilan yang akan
kita temui. Untuk mampu memahami hal itu, terlebih dahulu kita harus mampu
menjadi seorang pendengar yang baik, bukan sebagai sebagai pembicara yang baik.
Kelihatannya aneh memang, bukankah secara kasat mata dan logika sederhana
justru pengajar itulah yang seharusnya lebih dominan berbicara? Apa korelasi
antara menjadi pengajar yang berhasil dengan pendengar yang baik? Adakah dia
merupakan suatu ketentuan alam?
Berbicara mengenai
ketentuan alam berarti kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas
dan general. Sesuatu yang general berarti dia berlaku umum, dan segala sesuatu
yang berlaku secara umum maka kita
menyebutnya dengan hukum alam. Untuk membahas atau berbicara mengenai
hukum alam, maka kita kembali kepada alam dan penciptaan. Secara alamiah, manusia
diciptakan dengan sepasang indera pendengar (telinga) dan hanya satu alat yang
digunakan untuk berbicara (mulut). Ini berarti jumlah alat pendengaran kita dua
kali lipat lebih banyak daripada alat untuk berbicara. Kesimpulan yang paling
sahih dari kenyataan ini adalah kita diajarkan oleh alam untuk mendengar lebih
baik dua kali lebih banyak daripada menjadi pembicara yang baik. Ini juga bisa
diartikan urgensi menjadi pendengar yang baik lebih dipentingkan daripada hanya
menjadi seorang pembicara yang baik. Atau dengan kata lain, untuk menjadi
seorang pembicara yang baik, maka kita haruslah menjadi seorang pendengar yang
baik.
Andrea Harefa, dalam
bukunya Menjadi Manusia Pembelajar (2008) memberikan tiga ciri seseorang dapat
dikatakan sebagai manusia pembelajar. Manusia pembelajar adalah seseorang yang
memiliki prinsip berikut : menganggap setiap orang adalah guru, setiap tempat
adalah sekolah dan setiap saat merupakan waktu yang tepat untuk belajar. Senada
dengan pemikiran Andreas Harefa, bila ada istilah menjadi manusia pembelajar,
maka juga ada terminologi menjadi manusia pengajar. Manusia pengajar adalah
mereka-mereka yang berhasil mengilhami dan menginspirasi para anak didiknya
menjadi seorang manusia pembelajar.
Saya memang tidak
berkecimpung di dunia kepengajaran, sebagaimana halnya bahwa saya merupakan
lulusan Fakultas Teknik, bukan Fakultas Keguruan. Mungkin satu-satunya hal yang
bisa “mengaitkan” atau “menghubungkan” saya dengan dunia kepengajaran adalah
pengalaman saya sebagai seorang tentor, tutor atau guru privat ketika saya
sedang dalam masa studi di perguruan tinggi. Cerita mengenai saya sebagai
seorang tentor merupakan sebuah kisah yang memiliki cita rasa tersendiri.
Merupakan hal yang
lumrah jikalau kebanyakan mahasiswa Perguruan Tinggi terlibat dalam organisasi di kampus. Apakah
organisasi tersebut berbasis bidang keilmuan, keagaamaan, ideologi, kedaerahan,
maupun kewirausahaan. Saya juga terlibat aktif dalam berbagai organisasi di
kampus. Dari pergaulan antar sesama anggota dan pengurus lainnya, suatu ketika
saya ditawarkan sebuah kesempatan untuk menjadi guru privat bagi pelajar SMA.
Ada keraguan apakah saya bisa menjalani dan menjadi partner yang baik untuk
siswa yang akan saya bimbing. Adakah saya pantas untuk dia? Apakah kemampuan
yang saya miliki mampu memenuhi kebutuhannya? Akankah saya bisa memberikan “value added” kepadanya? “Kita coba saja dulu, kalau tidak cocok
berhenti di tengah jalan tidak apa-apa dan itu sudah biasa!”. Demikian apa
yang dikatakan teman saya untuk meyakinkan saya mengambil peluang itu, dan
akhirnya resmilah saya menjadi tentor kala itu.
Honor yang diberikan
memang tidaklah seberapa, namun untuk ukuran kantong mahasiswa seperti saya,
itu merupakan sebuah jumlah nominal yang menggiurkan dan lebih dari cukup untuk
saya menyimpannya. Beruntung juga saya bukan perokok, sehingga nominal yang
bisa saya simpan peluangnya menjadi lebih besar. Pelajaran moral pertama,
keuntungan bagi non perokok adalah pandai bersyukur,karena mampu menjadikan
sesuatu yang kecil menjadi sesuatu yang lebih dari cukup. Karena dia pandai
bersyukur, maka hidupnya akan bahagia.
Menjadi tentor/tutor itu
sangat mengasyikkan. Kita tidak diharuskan mengeluarkan energi ekstra (otot dan
tenaga yang kuat) untuk melakukannya. Hanya butuh waktu 60 atau 90 menit saja
untuk setiap pertemuannya. Tidak harus membanting tulang, tidak mesti berpeluh
keringat karena sengatan matahari. Kita hanya membutuhkan kesabaran dan
kemampuan untuk menjelaskan materi kepada anak didik. Sesekali kita membantu
dan mengajari anak didik bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan rumah dan
tugas-tugasnya.
Ada beberapa keuntungan
menjadi seorang tentor/tutor/guru privat. Pertama, pekerjaan ini menuntut
orangnya memiliki kemampuan untuk menjelaskan sesuatu dengan baik, dengan
demikian, akan membentuk kemampuan komunikasi yang baik. Kedua, seorang tentor dituntut
memiliki kemampuan mememotivasi anak didik, artinya dia melatih kemampuan
kepemimpinan dan manajerialnya. Ketiga, dengan mengajari anak didik terhadap
materi ajar, akan menolong si tentor untuk mengingat dan merekam kembali materi
ajar yang sudah dipelajarinya, ini artinya pekerjaa seorang tentor bukan sebatas
mengajar, tetapi juga belajar untuk dirinya sendiri. Keempat, selain memberikan
benefit, menjadi tentor juga mendatangkan profit. Memberikan benefit kepada
anak didik, profit berupa honor untuk kita sebagai imbalannya. Pengalaman saya
ketika menjadi tentor ketika sedang melakukan studi di salah satu universitas
negeri di Sumatera Utara, saya bisa menggunakan honor yang saya terima dari
menjadi seorang tentor untuk membiayai kehidupan selama disana. Untuk membayar
uang kuliah, uang kos, uang makan dan minum, membeli peralatan dan kelengkapan
studi (buku, laptop, dsb), dan bahkan, Alhamdulillah saya bisa membeli sebuah
sepeda motor baru dari hasil tabungan menjadi seorang tentor.
Menjadi seorang tenaga
pengajar asyik bukan?
Semoga keinginan menjadi pengajar benar-benar menjadi kenyataan suatu hari nanti ya bang. Perhatikan tanda baca dan kata-kata yang mubazir yaa. Overal, Greget bingid ceritanyaa.!
BalasHapus