Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak pernah bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi
dengan manusia yang lain. Aristoteles mengistilahkan keadaan ini dengan
terminologi zoon politikon yang
artinya manusia itu adalah makhluk sosial yang dikodratkan hidup dalam
kebersamaan dengan sesamanya dalam tatanan masyarakat. kehidupan dalam
kebersamaan itu berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia
yang lainnya. Hubungan itu dapat berupa sebuah relasi atau interaksi.
Sebuah interaksi akan menghasilkan suatu
menghasilkan sebuah umpan balik yang saling berlaku antara pihak-pihak yang
melakukannya. Yang dimaksudkan dengan umpan balik disini adalah adanya
kecenderungan pihak-pihak tertentu untuk mengikuti atau mengadopsi gaya hidup,
karakter, kepribadian dan cara pandang pihak yang lain. Demikian juga dengan
pihak yang lain, juga memiliki kecenderungan yang sama untuk meniru atau
mengimitasi kebiasaan dan kepribadian yang kita miliki.
Adanya prinsip imitasi
atau kecenderungan untuk menyamakan diri dengan makhluk sesamanya dalam sebuah
komunitas adalah bukti bahwa manusia adalah makhluk berkehendak. Kehendak ini
atau dalam bahasa orang awam sering diterjemahkan sebagai nafsu atau hawa
nafsu. Hawa nafsu atau kehendak ini adalah kodrat yang dihadiahkan oleh sang
Ilahi kepada makhluk yang bernama manusia, dan itu merupakan fitrah-nya sebagai
manusia sejati.
Dengan adanya
kecenderungan atau kehendak ini, maka tidaklah mengherankan mengapa dalam
realitas kehidupan sosial kemasyarakatan, kita mengenal istilah trend atau gaya hidup (life
style). Gaya hidup merupakan sebuah pola yang menggambarkan
kehidupan seseorang baik sebagai entitas tunggal dirinya sendiri, maupun
sebagai bagian dari masyarakat banyak. Di awal-awal kemunculan peradaban
manusia, gaya hidup hanya sebatas pada proses pemenuhan kebutuhan dasar saja,
misalnya kebutuhan akan makanan, kemudian sandang dan dan kemudian berkembang
lagi menjadi kebutuhan papan (tempat tinggal). Namun seiring dengan berlalunya
waktu, gaya tersebut menjadi berubah. Ia tidak lagi hanya sebatas memenuhi
kebutuhan pangan, sandang dan papan, tetapi lebih jauh lagi, kini gaya hidup
menjelma sebagai status sosial.
Dari terminologi status
sosial, kemudian kita bisa mengenali istilah strata sosial. Strata sosial ini
mungkin hampir mirip dengan istilah kasta-kasta seperti yang ada dalam
kepercayaan tempo dulu. Hal inilah yang kemudian membuat kita mengenal istilah
masyarakat kelas atas, menengah dan masyarakat kelas bawah. Pembagian istilah
ini dapat terjadi atas berbagai faktor, namun yang paling sering dan umum tentu
saja karena faktor ekonomi.
Kembali lagi ke cerita
tentang manusia yang memiliki kehendak, maka kecenderungan yang terjadi adalah
manusia dalam realitas sosialnya ingin menjadi masyarakat kalangan atas. Masyarakat
yang memiliki nilai dan kedudukan sosial yang tinggi dalam bermasyarakat. Sebuah
nilai yang menjadikan ia menjadi terpandang dan dihormati dalam kehidupan
sosial. Untuk memiliki nilai ini, kemudian setiap anggota masyarakat
berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik, yang terpandang, yang terhormat dan
yang “ter-ter” lainnya. Berbagai macam usaha dan cara yang dilakukan untuk
mencapai itu. Banyak diantara mereka yang melakukannya dengan cara-cara yang
tepat dan terhormat, tetapi tidak sedikit juga yang nekat dan menghalalkan
segala cara demi tercapainya status yang diinginkan tersebut.
kita tidak membahas
cara-cara orang yang nekat dan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan
yang diinginkannya. Tetapi, sebaliknya kita ingin membahas tentang orang-orang
yang ingin memperbaiki tingkatan hidupnya ke arah yang lebih baik, dengan
menggunakan cara-cara yang tepat dan terhormat. Cara-cara tepat dan terhormat
yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah cara-cara yang sesuai dengan aturan,
perundangan dan norma-norma yang berlaku. Orang-orang pada tipe ini tentu saja
merupakan orang pekerja keras, serius, sabar dan gigih untuk memperjuangkan
sesuatu yang layak diperjuangkannya.
Dalam proses perjuangan
untuk mencapai tujuan atau goal yang
sudah dicita-citakan itu, dia betul-betul mempersiapkan dengan matang segala
prasyarat untuk mencapai tujuannya itu. Persiapan yang dilakukan dapat
dikatakan sempurna dan nyaris tanpa cela. Begitu juga dengan usaha, kerja keras
atau action yang dilakukannya untuk
mencapai keinginan itu dilakukan secara total, ikhlas, sabar, dan penuh
keyakinan serta kegigihan yang tinggi. Dia merupakan pribadi yang tidak mudah
menyerah, dia selalu memilih jalan yang terjal, jalan yang beresiko, sehingga
dia yakin bisa memiliki kesempatan untuk mengasah diri untuk menjadi lebih baik
lagi.
Meskipun seseorang
dengan tipe terhormat ini telah mempersiapkan dan melakukan segala sesuatu
dengan sempurna dan telah memenuhi segala prasyarat yang diinginkan, namun
bukan berarti ia akan dengan lempang bisa memperoleh apa yang diinginkannya
itu. Tidak sedikit contoh orang yang sudah berusaha dengan sungguh-sungguh,
berjuang dengan keras, mempersiapkan diri dengan matang dan optimal, tetapi
masih belum memperoleh apa yang diinginkannya. Jika halnya demikian, adakah ini
sebuah kesalahan atau kesilapan?
Penulis tidak menganggap
ini sebagai sebuah kesalahan atau kesilapan. Ini bisa dipahami dengan
penjelasan bahwa manusia selain diberikan kehendak (kekuatan/dorongan untuk menjadi
lebih baik) sekaligus dilengkapi dengan batasan (kelemahan atau
ketidakberdayaan). Manusia memang diberikan kesempatan untuk berjuang dan
bekerja keras untuk mencapai apa yang yang diinginkannya sesuai dengan tuntutan
dan tuntunan yang diharapakan. Namun, tetap harus dipahami bahwa manusia juga memiliki
constraint yang menjadikan dia tidak
berdaya. Ternyata ada kekuatan yang jauh lebih kuat dan jauh lebih hebat dari
kehendak atau kekuatan manusia. Kekuatan itu tentu saja kekuatan dari sang maha
kuat yang kekuatannya tidak kenal batas. Dialah Sang Causa Prima, Sang Khaliq, sang maha segala-galanya. Dialah
yang sesungguhnya berkehendak dan kehendak Dia merupakan kehendak
seadil-adilnya. Kita hanya bisa berusaha dan Dialah yang meridhoinya, kita
hanya bisa merencanakan, sementara Dia lah yang memutuskan. Dan keputusanNya
merupakan keputusan yang seadil-adilnya. Pada akhirnya kita hanya hanya
diwajibkan berikhtiar, perkara hasil kembalikan pada sang maha memiliki
segalanya. Homo homonit, seud deus disponit. Man proposes but God dispose!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar