Minggu, 11 Mei 2014

Dan Aku pun (Bisa Jadi) Pembohong

Hai kamu! Iya, kamu! Kamu yang sedang membaca tulisan ini, atau kamu yang sedang menanti tulisan ini dan tulisan-tulisanku berikutnya. Apa kabarmu disana? Aku harap kamu baik-baik saja dan semoga diberikan kesehatan yang prima sehingga selalu semangat menjalani hari.
Maaf, tak banyak yang bisa aku berikan saat ini. Baik perhatian, maupun hal-hal yang dapat menyenangkanmu. Kamu tentu tahu, ada jarak yang membatasi sehingga diri ini tak mampu menyanggupi. Mungkin, kamu perlu tahu bahwa aku selalu menitipkan salam pada mentari pagi agar sinarnya mampu menghangatkanmu dari kerasnya hari. Di malam hari aku  juga meminta bintang dan sang rembulan untuk terus memancarkan cahayanya yang temaram agar dirimu tidak merasa sendirian dalam kesunyian.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang bersama tulisan-tulisan selama ini menjadi penghubung cerita-cerita diantara kita. Kelihatannya asik juga ya bercerita lewat media? Ya, meskipun belum sekalipun kita bertatap muka. Kadang aku juga sempat bertanya-tanya, bagaimana jika tak ada tulisan-tulisanmu yang aku baca? dan tak ada tulisan yang memang sengaja kuminta untuk mengkritik dan memperbaikinya? Apa jadinya bila tak ada cerita yang menjadi media penghubung diantara kita? Bagaimana jika tak ada kata-kata yang sengaja “disiratkan” untuk menambah rasa? Dan bagaimana jika aku tak mengirimkan “berita tengah malam” itu? Sungguh aku ragu meneruskannya padamu. Bukan apa apa, aku hanya khawatir jika sikapmu memilih menjauh dariku. Itu! hanya itu alasan untuk keraguanku.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang sengaja kembali mengungkit memori lalu. Sebelumnya aku merasa canggung untuk menyapamu. Butuh alasan yang tepat dan kuat bagiku untuk kembali menyapa melalui bahasa-bahasa terselubung.  Sampai akhirnya kita kembali pada romansa masa lalu, bersapa ria melalui bahasa dan kata yang sengaja dibumbui suatu maksud.
Kamu. Iya, kamu! Namamu kini mulai menetap nyaman di hati serta menghiasi pikiran ini. Entahlah, jangan kau tanyakan kapan hal itu terjadi. Mungkin ini terjadi seiring dengan komunikasi yang kian terjalin. Akhirnya kini aku pun mulai berani. Rasanya tak ada lagi kecanggungan diantara kita. Seolah-olah sudah saling memahami dan saling mengerti. Tak ada lagi bahasa yang “terselubung”, tak ada lagi makna yang “tersirat”. Semuanya kini telah berganti menjadi bahasa yang tegas dan jelas. Tidak ada lagi segan. Tak ada lagi rasa ragu.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang dulu pernah kutanyakan tentang suatu “gambar“. Tentu kamu sangat mengerti dan memahami apa yang kumaksud dari “gambar“ itu. Masih ingat kah kamu akan reaksiku tentangnya? Masih pahamkah dirimu mengapa aku menanyakan perihalmu terhadapnya? Benar, aku risih dengan posisi itu. Aku ingin kau baik-baik saja. Aku ingin tulus dan menjagamu.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang kusebut-sebut dalam doa. Tahukah kamu bahwa diujung doa aku memohon kepada sang Maha Kuasa agar memberimu kekuatan, ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi semua permasalahan yang ada? Kupinta juga agar kiranya Dia menjagamu untukku, untuk kita. Aku juga meminta agar hatimu didekatkan dengan hatiku, sehingga hati kita didekatkan dengan sang Maha Cinta. Aku ingin kita diridhoi, aku ingin hubungan ini direstui, aku ingin sesuatu yang berarti tanpa mengingkari titah ilahi.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang sekarang begitu jelas tergambar di sanubari, begitu dekat dihati, menjadi penghuni pikiran dan hati dari hari ke hari. Rasanya aneh, bila kita tidak bertegur sapa, ada yang kurang bila tidak mengungkapkan kata dan bahasa. Seiring dengan berlalunya masa, kini hubungan ini tak lagi menjadi biasa. Kamu dan aku tak lagi merasa canggung, tak ada lagi istilah yang terselubung. Semuanya menjadi jelas dan tegas, seolah tidak ada lagi yang namanya pembatas.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang ingin aku bicarakan soal pembatas. Aku mendefinisikan pembatas sebagai suatu hal yang memisahkan antara dua hal. Hal baik dengan buruk, serta memisahkan antara hak dan yang batil. Pembatas juga dapat kuartikan sebagai titik pembeda, yang membedakanku dengan yang sebelumnya. Aku ingin berbeda, ingin menjadi tidak biasa. Aku ingin menjadi tulus, dan aku tidak menginginkan apa yang disebut dengan modus.

Kamu. Iya, kamu! Kamu yang aku sampaikan kata maaf atas beberapa kejadian yang sepertinya telah melewati batas. Karena batas itu telah terlewati, itu artinya aku tidaklah menjadi berbeda lagi. Maafkan aku atas kekhilafan ini. Bagaimanapun jua, Aku bukanlah malaikat, aku bukanlah nabi. Aku hanya seorang lelaki, yang masih banyak belajar tentang pengendalian diri. Maafkan juga karena aku telah berbohong, meminta dirimu menjaga diri, tapi nyatanya aku ingin mencelakakanmu dengan tanganku sendiri. Maafkanlah aku, Ajarilah aku, ingatkanlah aku, tegurlah aku, karena aku hanya seorang laki-laki yang belum bisa menjaga  diri sendiri []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar