Hai
kamu! Iya, kamu! Kamu yang sedang membaca tulisan ini, atau kamu yang sedang
menanti tulisan ini dan tulisan-tulisanku berikutnya. Apa kabarmu disana? Aku
harap kamu baik-baik saja dan semoga diberikan kesehatan yang prima sehingga selalu
semangat menjalani hari.
Maaf, tak banyak yang bisa aku berikan saat ini. Baik perhatian,
maupun hal-hal yang dapat menyenangkanmu. Kamu tentu tahu, ada jarak yang
membatasi sehingga diri ini tak mampu menyanggupi. Mungkin, kamu perlu tahu bahwa
aku selalu menitipkan salam pada mentari pagi agar sinarnya mampu
menghangatkanmu dari kerasnya hari. Di malam hari aku juga meminta bintang dan sang rembulan untuk
terus memancarkan cahayanya yang temaram agar dirimu tidak merasa sendirian
dalam kesunyian.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang bersama tulisan-tulisan selama
ini menjadi penghubung cerita-cerita diantara kita. Kelihatannya asik juga ya
bercerita lewat media? Ya, meskipun belum sekalipun kita bertatap muka. Kadang
aku juga sempat bertanya-tanya, bagaimana jika tak ada tulisan-tulisanmu yang
aku baca? dan tak ada tulisan yang memang sengaja kuminta untuk mengkritik dan
memperbaikinya? Apa jadinya bila tak ada cerita yang menjadi media penghubung
diantara kita? Bagaimana jika tak ada kata-kata yang sengaja “disiratkan” untuk
menambah rasa? Dan bagaimana jika aku tak mengirimkan “berita tengah malam” itu?
Sungguh aku ragu meneruskannya padamu. Bukan apa apa, aku hanya khawatir jika
sikapmu memilih menjauh dariku. Itu! hanya itu alasan untuk keraguanku.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang sengaja kembali mengungkit
memori lalu. Sebelumnya aku merasa canggung untuk menyapamu. Butuh alasan yang
tepat dan kuat bagiku untuk kembali menyapa melalui bahasa-bahasa terselubung. Sampai akhirnya kita kembali pada romansa
masa lalu, bersapa ria melalui bahasa dan kata yang sengaja dibumbui suatu
maksud.
Kamu. Iya, kamu! Namamu kini mulai menetap nyaman di hati
serta menghiasi pikiran ini. Entahlah, jangan kau tanyakan kapan hal itu
terjadi. Mungkin ini terjadi seiring dengan komunikasi yang kian terjalin.
Akhirnya kini aku pun mulai berani. Rasanya tak ada lagi
kecanggungan diantara kita. Seolah-olah sudah saling memahami dan saling
mengerti. Tak ada lagi bahasa yang “terselubung”, tak ada lagi makna yang
“tersirat”. Semuanya kini telah
berganti menjadi bahasa yang tegas dan jelas. Tidak ada lagi segan. Tak ada
lagi rasa ragu.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang dulu pernah kutanyakan tentang
suatu “gambar“. Tentu kamu sangat mengerti dan memahami apa yang kumaksud dari
“gambar“ itu. Masih ingat kah kamu akan reaksiku tentangnya? Masih pahamkah
dirimu mengapa aku menanyakan perihalmu terhadapnya? Benar, aku risih dengan
posisi itu. Aku ingin kau baik-baik saja. Aku ingin tulus dan menjagamu.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang kusebut-sebut dalam doa. Tahukah
kamu bahwa diujung doa aku memohon kepada sang Maha Kuasa agar memberimu
kekuatan, ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi semua permasalahan yang ada?
Kupinta juga agar kiranya Dia menjagamu untukku, untuk kita. Aku juga meminta
agar hatimu didekatkan dengan hatiku, sehingga hati kita didekatkan dengan sang
Maha Cinta. Aku ingin kita diridhoi, aku ingin hubungan ini direstui, aku ingin
sesuatu yang berarti tanpa mengingkari titah ilahi.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang sekarang begitu jelas
tergambar di sanubari, begitu dekat dihati, menjadi penghuni pikiran dan hati
dari hari ke hari. Rasanya aneh, bila kita tidak bertegur sapa, ada yang kurang
bila tidak mengungkapkan kata dan bahasa. Seiring dengan berlalunya masa, kini hubungan
ini tak lagi menjadi biasa. Kamu dan aku tak lagi merasa canggung, tak ada lagi
istilah yang terselubung. Semuanya menjadi jelas dan tegas, seolah tidak ada
lagi yang namanya pembatas.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang ingin aku bicarakan soal
pembatas. Aku mendefinisikan pembatas sebagai suatu hal yang memisahkan antara
dua hal. Hal baik dengan buruk, serta memisahkan antara hak dan yang batil.
Pembatas juga dapat kuartikan sebagai titik pembeda, yang membedakanku dengan
yang sebelumnya. Aku ingin berbeda, ingin menjadi tidak biasa. Aku ingin
menjadi tulus, dan aku tidak menginginkan apa yang disebut dengan modus.
Kamu. Iya, kamu! Kamu yang aku sampaikan kata maaf atas
beberapa kejadian yang sepertinya telah melewati batas. Karena batas itu telah
terlewati, itu artinya aku tidaklah menjadi berbeda lagi. Maafkan aku atas
kekhilafan ini. Bagaimanapun jua, Aku bukanlah malaikat, aku bukanlah nabi. Aku
hanya seorang lelaki, yang masih banyak belajar tentang pengendalian diri.
Maafkan juga karena aku telah berbohong, meminta dirimu menjaga diri, tapi
nyatanya aku ingin mencelakakanmu dengan tanganku sendiri. Maafkanlah aku, Ajarilah
aku, ingatkanlah aku, tegurlah aku, karena aku hanya seorang laki-laki yang
belum bisa menjaga diri sendiri []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar