Telah tinggal di kota Adelaide selama lebih dari satu tahun guna
melanjutkan pendidikan, membuat saya sedikit banyak mengenal seluk beluk kota
Adelaide. Adelaide merupakan ibukota provinsi South Australia dimana lebih dari
75 persen warganya tinggal di kota ini. Sebelum masa kependudukan koloni
Inggris, Adelaide merupakan rumah bagi suku Kaurna - salah satu suku pribumi
atau penduduk asli Australia. Namun, setelah koloni Inggris berkuasa, kota ini
kemudian didiami oleh bangsa kulit putih yang kemudian menjadi salah satu
kontributor utama pembangunan daerah ini. Penamaan kota Adelaide berakar dari
nama permaisuri King William IV, Queen Adelaide.
Selain dikenal dengan sebutan “the
City of Churches”, Adelaide juga dijuluki
dengan nama “kota seribu festival”. Penyebutan ini dikarenakan terdapat begitu
banyak festival internasional nan bergengsi diselenggarakan di kota Adelaide.
Beberapa festival itu, diantaranya adalah Adelaide
Fringe Festival, WomAdelaide, OzAsia Festival, Indofest, Royal Adelaide Show dan Adelaide Kite International Festival.
Akhir pekan lalu, saya bersama teman-teman pelajar internasional
University of South Australia berkesempatan untuk menikmati Adelaide International Kite Festival. Festival
ini merupakan acara tahunan dan termasuk sebagai salah satu festival
layang-layang terbesar di dunia. Pergelaran ini tepatnya diadakan di pantai Semaphore yang berjarak sekitar 17 km
dari pusat kota Adelaide. Untuk menuju kesana, kita bisa menggunakan
transportasi umum bus dan kereta api ataupun menggunakan kendaraan pribadi.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 40 menit dengan menggunakan bus
transpotasi umum, akhirnya saya dan teman-teman tiba di lokasi festival. Kesan
pertama yang saya rasakan saat tiba di lokasi adalah suasana keramaian yang
sangat meriah. Ribuan orang dari berbagai latar belakang negara dan budaya
berkumpul untuk memeriahkan festival ini. Dermaga terlihat penuh sesak oleh
keramaian. Semuanya berkumpul bersama demi melihat perayaan layang-layang ini
dari jarak dekat.
Selain pertunjukan layang-layang sebagai atraksi utama, lokasi tempat
penyelenggaraan festival ini juga
menyediakan berbagai pilihan wahana bermain. Tak ketinggalan kios-kios
kecil yang menjajakan dagangan mulai dari layang-layang, kerajinan, mainan
anak-anak hingga produk kreatif lainnya. Rumah makan dan cafeteria yang menjual
beragam jenis makanan dan minuman juga jadi unsur utama pendukung utama
kemeriahan festival ini. Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa pada
festival yang berlangsung 3 hari ini, telah terjadi transaski perdagangan
bernilai miliyaran rupiah.
Berada di tengah-tengah festival ini, ingatan saya kembali ke masa-masa
kecil dahulu saat tinggal di gampong.
Di gampong saya Damartutong - Aceh Selatan, biasanya diadakan geulayang tunang usai musim panen. Kompetisi ini, selain dijadikan
ajang rekreasi dan hiburan, juga dijadikan sebagai ajang silaturahmi dan
konsolidasi awak gampong. Bagi saya,
terlepas dari sentimen pribadi dan kecintaan saya terhadap gampong sendiri, festival geulayang
tunang di gampong jauh lebih seru
dan menegangkan dibandingkan dengan The
Adelaide International Kite Festival.
Semarak dan keriuhan geulayang tunang
ini lebih terasa terutama saat hitungan mundur untuk menentukan pemenang dilakukan.
Belum lagi menghitung kegaduhan yang ditimbulkan saat satu per satu
layang-layang putus atau i’klep
(terjatuh karena kehilangan dorongan angin) yang berarti menjadi ladang rezeki
sekaligus kompetisi bagi anak-anak yang mengejarnya.
Saya berharap semoga suatu saat nanti geulayang tunang bisa menjadi pergelaran kelas dunia yang diharapkan
bisa menjadi salah satu roda penggerak ekonomi masyarakat lokal sekaligus ajang
promosi kedaerahan. Dengan strategi promosi yang baik, kerjasama yang solid
antara masyarakat, pemerintah dan pihak terkait, persiapan yang terencana dan
matang, maka ajang geulayang tunang
kelas dunia ini bukanlah sesuatu yang mustahil kita untuk diwujudkan. Tentunya
tanpa mengabaikan konten kearifan lokal dan nuansa keislaman yang telah menjadi
identitas gampong dan nanggroe.
The International Geulayang Tunang, semoga!
NB: Versi media cetak online bisa diakses di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar