Minggu, 08 Juni 2014

The power of “GALAU”



GALAU! Iya, GALAU!  Saya jamin anda tidak silap dalam melihat dan dalam mengeja. Sengaja istilah tersebut yang buat dalam formal huruf kapital (caps lock) dengan tujuan sebagai   stressing/signal word” untuk lebih mudah ditemukenali. Pembaca tentu paham apa yang dimaksudkan dengan frase dalam tanda kutip tersebut. maksudnya tiada lain dan tiada bukan adalah untuk penanda bahwa topik yang akan kita bahas kali ini mengenai perihal GALAU tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin bertanya kepada rekan pembaca sekalian. Apa yang anda bayangkan dalam benak anda ketika mendengar kata galau? ikiran apa yang terlintas dalam kepala ketika membaca istilah galau? adakah dia memiliki pesan positif, atau malah sebaliknya, berkonotasi negatif. Apakah dia berkaitan dengan perasaan dan hati? adakah ia berkaitan dengan mood, semangat dan suasana hati? adakah dia sesuatu yang dihindari, atau sebaliknya malah dinanti-nanti?
Jika banyak dari sekian pertanyaan yang diajukan diatas dijawab dengan kata “ya”, maka jawaban yang anda berikan tidaklah sepenuhnya salah. Tidaklah sepenuhnya salah disini dikarenakan jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya benar. Karena ia tidak sepenuhnya benar, maka berarti ada sebagian yang salah. Jika hanya ada sebagian yang salah, berarti ada bagian dari jawaban itu benar, karenanya dia tidaklah sepenuhnya salah. Haha, ribet ya? Namanya saja lagi galau (>_<)
Mungkin sebagian besar pembaca beranggapan bahwa pengertian galau yang dimaksudkan disini adalah suatu bentuk kegelisahan hati, ketidaktenangan serta ketidaktentraman jiwa. Bentuk dan alasannya bisa sangat beragam. Bagi anak contohnya, dia bisa galau lantaran tidak dibelikan mainan yang diinginkannya. Buat pedagang, harga barang yang kian membumbung tinggi menjadikannya gelisah sepanjang hari. Para pelajar yang sedang menunggu pengumuman kelulusan juga mengalami ketidaktenangan ini. Bisa saja karena patah hati dikarenakan putus atau ditolak oleh pacar/calon pacar - biasanya kasus ini terjadi pada kaum ababil, hehe J
Anggapan tersebut tidaklah salah, sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pemikiran tersebut pada beberapa bagian ada benarnya. Galau (adjective) atau kegalauan (noun) merupakan sesuatu bentuk expresi diri terhadap suasana hati yang sedang murung dan gelisah. Maka tidak heran, orang yang sedang galau terlihat bimbang, gelisah dan peragu. Wajahnya tampak murung –  perumpamaannya digambarkan dengan semboyan “makan tak enak, tidur tak lolap”. Orang yang sedang galau sangat mudah tersinggung, tidak fokus dan sangat bisa dipastikan memiliki performansi dan produktivitas kerja yang rendah atau mungkin sangat renda. Namun, bukanlah galau seperti itu yang kita bicarakan. J
Galau memang hadir ketika suasana hati tidak menentu. Sudah pasti ketidakmenentuan ini dikarenakan tidak (lebih tepatnya belum) terealisasinya hajat yang ada didasar hati. Hajat  apa saja, apakah dia yang masih tersembunyi, sudah terucapkan dan dilakukan (diusahakan). Dalam kaidah keilmuan, setiap pertentangan/kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi disebut dengan masalah (problem). Semua orang pasti ingin menghindari masalah, karena masalah hanya membuat susah dan membuat kita menjadi lemah. Lemah adalah bentuk ketidakberdayaan akibat dari sebuah kegalauan. Hebatnya galau yang kita bicarakan ini malah bekerja sebaliknya, alih-alih membuat kita menjadi lemah, dia malah menjadi sumber kekuatan diri dan kepercayaan diri sehingga  kita bisa bangkit dan tersenyum menantang hari.
Lah kok bisa? Seharusnya galau kan membawa masalah, lalu darimana ceritanya dia bisa menjadi sebuah kekuatan diri. Jawabannya sangat sederhana, karena GALAU yang diceritakan disini merupakan kependekan dari “ GOD ALWAYS LISTENING ALWAYS UNDERSTANDING ”. seperti tagline salah satu perusahaan asuransi ya? Hehe, serius ga ada maksud buat prospek, peace J

Iya benar sekali, God Always Listening Always Understanding (GALAU) adalah kunci terakhir sekaligus menjadi the most powerful weapon, senjata paling ampuh untuk membuat kehidupan kita menjadi lebih bersemangat lagi. Memang sudah fitrahnya, kita mengingat Tuhan ketika kita sedang lemah, sedang gelisah, sedang berada di dalam kekalutan jiwa. Saat titik inilah, kita dekat dengan Tuhan. Semakin kita dekat dengan Tuhan, semakin mesra kita berhubungan dengannya, maka semakin seringlah kita berkeluh kesah dengannya. Dialah Allah, sang maha Sami’un,  yang selalu mendengar doa-doa dan keluh kesah hambanya, dan dia sudah menjanjikan “Udulni, astajiblakum”. Berdoalah kamu, berkeluh kesahlah kamu, maka aku akan mendengar dan menjawab segala keluh kesahmu.
Sayangnya seiring dengan jawaban keluh kesah tersebut membuat kita menjadi lebih kuat. Dengan kekuatan itu, semangat itu, kepercayaan diri itu, kita bukanlah lagi menjadi makhluk yang lemah. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit dan perlahan kita mulai menjauh dan enggan berkeluh kesah dengan Tuhan. Semakin kita jauh dari Tuhan, maka semakin sedikit pancaran energi yang kita dapatkan, lalu kembali kepada keadaan yang lemah tidak berdaya kembali. Lalu siklus kembali berulang, kita mulai membutuhkan Dia kembali, demi mendapatkan kembali pancaran energi. Muhammad Nursani dalam bukunya Mencari Mutiara di Dasar Hati  membuat sebuah kutipan yang sangat menyentuh sekali “Sumber kelemahanku adalah kekuatanku, sementara sumber kekuatanku adalah kelemahanku”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar