Minggu, 15 Juni 2014

Jakarta negeri Batavia



Bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, Jakarta hanyalah  sesuatu yang biasa-biasa saja.  Ia bukanlah sesuatu yang “wah” dan begitu luar biasa. Bagi mereka yang berpikiran seperti ini, Jakarta is just a city, an ordinary city, sebagaimana halnya dengan kota-kota lainnya yang ada di Indonesia. Mungkin yang membedakannya  dengan kota lainnya adalah statusnya sebagai ibukota Negara, selebihnya tidak ada yang berbeda, tidak ada yang yang begitu  luar biasa. tidak ada yang istimewa.
Namun tidak begitu halnya denganku. Bagiku Jakarta merupakan sesuatu yang istimewa. Ia begitu megah, begitu “wah”. Jakarta luar biasa! Ia tidak bisa dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Indonesia. Apalagi dengan kota kelahiranku. Oops, maaf. Kampung kelahiranku lebih tepatnya! Jakarta simbol kebesaran, kemajuan dan kemodernan. Jakarta adalah tempat tempat orang-orang penting berkumpul dan bertukar pikiran. Presiden, Wakil Presiden, para menteri dan juga pejabat negeri lainnya berdomisili.
Jakarta disebut sebagai kota metropolitan dan (mungkin) segera menjadi kota megapolitan. Disana kau dengan mudah gedung-gedung bertingkat, perusahaan-perusahaan raksasa, hotel-hotel mewah, pusat perbelanjaan, wahana refreshing dan rekreasi, gedung olahraga serta apartemen. Ah, apartemen! Rasanya kelu ketika aku harus melafalkan frasa ini. Dalam teoriku, juga orang-orang di kampung halamanku, apartemen adalah kemewahan dan kemodernan yang berasal dari negeri seberang laut nun jauh disana di bumi Eropa dan Amerika. Makanya jangan heran, susah sekali aku  melafalkan istilah ini. Secara lidahku, lidah orang kampung yang udik.
Mari kuceritakan sedikit kawan tentang aku punya tanah kelahiran. Tanah kelahiranku, juga tanah kelahiran kedua orangtuaku serta tanah kelahiran kedua orang tua dari keduanya merupakan sebuah desa kecil dan terpencil nun jauh di pelosok sumatera. Berbatasan langsung dengan samudera hindia dan gunung rimba yang menurutku termasuk kedalam gugus bukit barisan. Kami tidak terbiasa dengan istilah kemodernan terutama istilah barat. Lidah kami hanya terbiasa melafalkan istilah blang (sawah), ateung (pematang), meugoe (bercocok tanam), kauri/kanuri (pesta/hajatan), serta istilah-istilah sederhana lainnya. Nah apartemen? Entahlah, kami tidak tahu itu apa? Bagaimana bentuk maupun rupanya? Jangankan untuk membayangkannya, melafalkannya saja kami sulit.
Kembali ke Jakarta, tempat dimana kau bisa melihat jalan layang, lintasan  tol, kereta api dan segala kemegahan yang ada di dalamnya. Alhamdulilah, saat tulisan ini ditulis, aku sedang berada di Jakarta. Aku bersyukur sekali bisa berada di tempat ini, dimana aku bisa menyaksikan peradaban kemodernan di negeri ini dengan mata kepala sendiri. Karena aku berasal dari kampung, maka sampai ke Jakarta merupakan sebuah kebanggan tersendiri karena tidak banyak orang yang dari kampungku bisa mencapai tempat ini. Ah, lupakan segala masalah yang muncul di TV terkait Jakarta. Kemacetan, banjir, kepadatan penduduk dan lainnya. Aku tidak mau pusing dengan perkara itu, aku ingin menikmati kehidupanku saat ini di ibukota, Jakarta!
Well, sebenarnya ini bukan kali pertama aku berkunjung ke Jakarta.  Di penghujung tahun 2011 yang lalu aku berkesempatan berkunjung ke kota yang dikenal dengan Batavia ini. Kesempatan ini kuperoleh ketika timku Horas berhasil menjadi perwakilan Universitas Sumatera Utara (USU) untuk mengikuti lomba simulasi bisnis di tingkat nasional yang diadakan oleh sebuah perusahaan multi nasional terkenal yang bergerak di bidang food&beverage serta health&nutrition dan berkedudukan di Prancis. Aku sangat ingat dan akan selalu ingat (Insya Allah) akan pengalaman manis dan sekaligus “katrok” ketika mengikuti lomba ini. Kami, semua peserta dari berbagai perguruan tinggi di nusantara dikarantinakan di hotel Menara Peninsula – salah satu hotel bintang empat di Jakarta.  
Me and My Horas teammate
Setiap peserta akan diberi jatah satu kamar untuk dua orang. Aku dan teman  mendapat jatah kamar yang kalau tidak salah berada di lantai 18 dari total 24 lantai. Sebagai orang udik dan ndeso, ini adalah kali pertama aku berada di hotel mewah seperti ini. Berbekal cerita punya cerita, aku sedikit mengetahui bahwa kamar-kamar di hotel berbintang dilengkapi dengan kartu (acces card) yang digunakan untuk membuka dan menutup pintu. Setiap pelanggan, dilengkapi dengan kartu itu.
Pemandangan kota Jakarta dari hotel Menara Peninsula

lucunya pengetahuan minim tentang hotel mewah ala orang ndeso ini memang berhasil membawa kami masuk ke dalam kamar kami dengan menggunakan acces card tersebut, tetapi tidak mampu menyelamatkan kami dalam kegelapan. Hampir lima menit lamanya kami berkutat untuk menghidupkan lampu kamar. Menekan semua saklar-saklar yang ada. Berulang-ulang kami menekan tombol saklar on-off di setiap penjuru yang ada. Namun hasilnya nihil! Ruangan kami masih gelap gulita! 
Mentoring dengan alumni tahun sebelumnya
Dengan menggunakan penerangan seadanya dari ponsel kami mencari-cari setiap sudut ruangan yang kami anggap merupakan titik sentral untuk menyalakan lampu. Kembali kami menekan tombol-tombol yang ada berulang-ulang namun tak jua membawa perubahan. Kami panik, malu sekaligus terharu, kami menyerah dan hendak keluar kamar untuk meminta bantuan. Sebelum membukakan pintu, aku melihat ada kotak kecil berada disamping pintu, bentuknya hampir sama seperti box yang ada diluar kamar yang digunakan untuk menggesek kartu untuk membukakan pintu. Aku berpikir, mungkin ini adalah tempat peletakan access card. Kucoba untuk memasangkannya (meletakkan) kartu itu ketempat yang tersedia, dan taaraaa, lampu pun menyala! Hahaha, dasar orang katrok!
Gaya dulu di Lift sebelum lomba
Karena waktunya perlombaannya singkat, aku tidak bisa memanjakan diri untuk berkeliling Jakarta. Begitu selesai acara, kami langsung bertolak ke Sumatera Utara. Ah, padahal aku ingin sekali ke Monas, Mesjid Istiqlal, Bundaran HI, Taman Mini, Kota Tua dan lainnya. Aku hanya bisa melihat tugu Monas dari kejauhan. Rasanya janggal sekali ke Jakarta tanpa berkunjung ke monumen ini. Tapi ya sudahlah, semuanya sudah di atur, tiket pulang-pergi kami sudah disiapkan panitia. Dalam hati aku berdoa kepada yang kuasa, suatu saat nanti aku akan kembali ke Jakarta. Kan kukunjungi Tugu Monas, akan kurasakan bagaimana rasanya shalat di Mesjid Istiqlal. Suatu saat nanti ya Allah, Amin!
Bersiap meninggalkan Jakarta
Allah menjawab doaku 3 tahun kemudian. Tepatnya di pertengahan tahun 2014 ini, aku kembali ke Jakarta untuk kedua kalinya. Kali ini untuk waktu yang lebih lama, jadi aku bisa lebih leluasa untuk mengunjungi “a must”  ketika datang ke Jakarta. Insya Allah kini aku lebih siap, meski bawaan ndeso ku masih melekat. Mudah-mudahan semuanya berjalan sempurna. Ini saja yang bisa kuceritakan dulu. Karena ada hal lainnya yang harus kulakukan disini. Apalagi kalau bukan untuk belajar. Belajar dan belajar. hanya itu cara yang aku tahu untuk menjadi lebih baik (kata Alif - Rantau Satu Muara). Untuk kamu yang disana ingin mendengarkan cerita-ceritaku, kuharap sabar untuk menunggu!




1 komentar: