Bagi sebagian orang,
terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, Jakarta hanyalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Ia bukanlah sesuatu yang “wah” dan begitu
luar biasa. Bagi mereka yang berpikiran seperti ini, Jakarta is just a city, an ordinary
city, sebagaimana halnya dengan kota-kota lainnya yang ada di Indonesia. Mungkin
yang membedakannya dengan kota lainnya adalah
statusnya sebagai ibukota Negara, selebihnya tidak ada yang berbeda, tidak ada
yang yang begitu luar biasa. tidak ada
yang istimewa.
Namun tidak begitu
halnya denganku. Bagiku Jakarta merupakan sesuatu yang istimewa. Ia begitu
megah, begitu “wah”. Jakarta luar biasa! Ia tidak bisa dibandingkan dengan
kota-kota lainnya yang ada di Indonesia. Apalagi dengan kota kelahiranku. Oops,
maaf. Kampung kelahiranku lebih tepatnya! Jakarta simbol kebesaran, kemajuan
dan kemodernan. Jakarta adalah tempat tempat orang-orang penting berkumpul dan
bertukar pikiran. Presiden, Wakil Presiden, para menteri dan juga pejabat
negeri lainnya berdomisili.
Jakarta disebut sebagai
kota metropolitan dan (mungkin) segera menjadi kota megapolitan. Disana kau
dengan mudah gedung-gedung bertingkat, perusahaan-perusahaan raksasa, hotel-hotel
mewah, pusat perbelanjaan, wahana refreshing dan rekreasi, gedung olahraga serta
apartemen. Ah, apartemen! Rasanya kelu ketika aku harus melafalkan frasa ini. Dalam
teoriku, juga orang-orang di kampung halamanku, apartemen adalah kemewahan dan
kemodernan yang berasal dari negeri seberang laut nun jauh disana di bumi Eropa
dan Amerika. Makanya jangan heran, susah sekali aku melafalkan istilah ini. Secara lidahku, lidah
orang kampung yang udik.
Mari kuceritakan sedikit
kawan tentang aku punya tanah kelahiran. Tanah kelahiranku, juga tanah
kelahiran kedua orangtuaku serta tanah kelahiran kedua orang tua dari keduanya
merupakan sebuah desa kecil dan terpencil nun jauh di pelosok sumatera. Berbatasan
langsung dengan samudera hindia dan gunung rimba yang menurutku termasuk kedalam
gugus bukit barisan. Kami tidak terbiasa dengan istilah kemodernan terutama
istilah barat. Lidah kami hanya terbiasa melafalkan istilah blang (sawah), ateung (pematang), meugoe (bercocok
tanam), kauri/kanuri (pesta/hajatan),
serta istilah-istilah sederhana lainnya. Nah apartemen? Entahlah, kami tidak
tahu itu apa? Bagaimana bentuk maupun rupanya? Jangankan untuk membayangkannya,
melafalkannya saja kami sulit.
Kembali ke Jakarta,
tempat dimana kau bisa melihat jalan layang, lintasan tol, kereta api dan segala kemegahan yang ada
di dalamnya. Alhamdulilah, saat tulisan ini ditulis, aku sedang berada di
Jakarta. Aku bersyukur sekali bisa berada di tempat ini, dimana aku bisa
menyaksikan peradaban kemodernan di negeri ini dengan mata kepala sendiri. Karena
aku berasal dari kampung, maka sampai ke Jakarta merupakan sebuah kebanggan
tersendiri karena tidak banyak orang yang dari kampungku bisa mencapai tempat
ini. Ah, lupakan segala masalah yang muncul di TV terkait Jakarta. Kemacetan,
banjir, kepadatan penduduk dan lainnya. Aku tidak mau pusing dengan perkara
itu, aku ingin menikmati kehidupanku saat ini di ibukota, Jakarta!
Well, sebenarnya ini bukan kali pertama aku berkunjung ke Jakarta.
Di penghujung tahun 2011 yang lalu aku
berkesempatan berkunjung ke kota yang dikenal dengan Batavia ini. Kesempatan ini
kuperoleh ketika timku Horas berhasil
menjadi perwakilan Universitas Sumatera Utara (USU) untuk mengikuti lomba
simulasi bisnis di tingkat nasional yang diadakan oleh sebuah perusahaan multi
nasional terkenal yang bergerak di bidang food&beverage serta health&nutrition dan berkedudukan
di Prancis. Aku sangat ingat dan akan selalu ingat (Insya Allah) akan pengalaman
manis dan sekaligus “katrok” ketika mengikuti lomba ini. Kami, semua peserta
dari berbagai perguruan tinggi di nusantara dikarantinakan di hotel Menara Peninsula
– salah satu hotel bintang empat di Jakarta.
Me and My Horas teammate |
Setiap peserta akan
diberi jatah satu kamar untuk dua orang. Aku dan teman mendapat jatah kamar yang kalau tidak salah berada
di lantai 18 dari total 24 lantai. Sebagai orang udik dan ndeso, ini adalah kali pertama aku berada di hotel mewah seperti
ini. Berbekal cerita punya cerita, aku sedikit mengetahui bahwa kamar-kamar di
hotel berbintang dilengkapi dengan kartu (acces
card) yang digunakan untuk membuka dan menutup pintu. Setiap pelanggan, dilengkapi
dengan kartu itu.
Pemandangan kota Jakarta dari hotel Menara Peninsula |
lucunya pengetahuan
minim tentang hotel mewah ala orang ndeso
ini memang berhasil membawa kami masuk ke dalam kamar kami dengan menggunakan acces card tersebut, tetapi tidak mampu menyelamatkan
kami dalam kegelapan. Hampir lima menit lamanya kami berkutat untuk
menghidupkan lampu kamar. Menekan semua saklar-saklar yang ada. Berulang-ulang
kami menekan tombol saklar on-off di
setiap penjuru yang ada. Namun hasilnya nihil! Ruangan kami masih gelap gulita!
Mentoring dengan alumni tahun sebelumnya |
Dengan menggunakan
penerangan seadanya dari ponsel kami mencari-cari setiap sudut ruangan yang
kami anggap merupakan titik sentral untuk menyalakan lampu. Kembali kami
menekan tombol-tombol yang ada berulang-ulang namun tak jua membawa perubahan. Kami
panik, malu sekaligus terharu, kami menyerah dan hendak keluar kamar untuk
meminta bantuan. Sebelum membukakan pintu, aku melihat ada kotak kecil berada
disamping pintu, bentuknya hampir sama seperti box yang ada diluar kamar yang
digunakan untuk menggesek kartu untuk membukakan pintu. Aku berpikir, mungkin ini
adalah tempat peletakan access card. Kucoba
untuk memasangkannya (meletakkan) kartu itu ketempat yang tersedia, dan
taaraaa, lampu pun menyala! Hahaha, dasar orang katrok!
Gaya dulu di Lift sebelum lomba |
Karena waktunya perlombaannya
singkat, aku tidak bisa memanjakan diri untuk berkeliling Jakarta. Begitu
selesai acara, kami langsung bertolak ke Sumatera Utara. Ah, padahal aku ingin
sekali ke Monas, Mesjid Istiqlal, Bundaran HI, Taman Mini, Kota Tua dan lainnya.
Aku hanya bisa melihat tugu Monas dari kejauhan. Rasanya janggal sekali ke
Jakarta tanpa berkunjung ke monumen ini. Tapi ya sudahlah, semuanya sudah di
atur, tiket pulang-pergi kami sudah disiapkan panitia. Dalam hati aku berdoa
kepada yang kuasa, suatu saat nanti aku akan kembali ke Jakarta. Kan kukunjungi
Tugu Monas, akan kurasakan bagaimana rasanya shalat di Mesjid Istiqlal. Suatu saat
nanti ya Allah, Amin!
Bersiap meninggalkan Jakarta |
Allah menjawab doaku 3
tahun kemudian. Tepatnya di pertengahan tahun 2014 ini, aku kembali ke Jakarta
untuk kedua kalinya. Kali ini untuk waktu yang lebih lama, jadi aku bisa lebih
leluasa untuk mengunjungi “a must” ketika datang ke Jakarta. Insya Allah kini aku
lebih siap, meski bawaan ndeso ku
masih melekat. Mudah-mudahan semuanya berjalan sempurna. Ini saja yang bisa
kuceritakan dulu. Karena ada hal lainnya yang harus kulakukan disini. Apalagi kalau
bukan untuk belajar. Belajar dan belajar. hanya itu cara yang aku tahu untuk menjadi
lebih baik (kata Alif - Rantau Satu Muara). Untuk kamu yang disana ingin
mendengarkan cerita-ceritaku, kuharap sabar untuk menunggu!
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus