Puncak dari sebuah pesta pernikahan ialah saat rombongan
linto-baro tiba. Pada masa itu, banyak
“ritual adat dan prosesi sakral” diketengahkan. Beberapa ragam budaya muladi
dari tari ranup lampuan, peutroen taweu, rah
gaki, ratoh hingga pantun berbalas
pantun dipertunjukkan.
Pun
begitu juga halnya dengan kenduri
yang diadakan di rumahku. Klimaks acara yang dinanti pun tiba. 17.54, demikian angka
yang ditunjukkan oleh benda yang melingkar dilengan kiriku, tak kurang tak
lebih. Kala itu, diujung jalan mulai tampak sekawanan orang berjalan
bergerombolan bak “pawai karnaval”. Mereka berjalan pelan, bahkan sangat pelan
seakan-akan mereka tak pernah sampai ke tujuan. Di barisan paling depan,
terlihat kedua mempelai berjalan penuh irama, sambil sekali-kali menampakkan
senyum bahagia. Keduanya berjalan beriringan di bawah payung berwarna. Mungkin,
secara filosofis itu dimaksudkan sebagai simbol agar keduanya bisa menjadikan
pernikahan ini sebagai “payung” yang mampu “melindungi” bahtera keluarga mereka
dari ancaman “panas, hujan, badai, maupun ombak besar” yang mungkin menghadang.
Warna itu sendiri bisa diartikan, supaya keduanya selalu siap dan bersemangat
dalam membina dan mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh warna.
Linto-baro beserta rombongan |
Begitu
rombongan tersebut hendak memasuki pekarangan, terlebih dahulu mereka
“dihadang” oleh delapan anak kecil yang mengenakan pakaian seragam berwarna
kuning keemasan, kecuali “sang ratu” yang mengenakan seragam merah jambu. Anak-anak
itu, pakaiannya dilengkapi ornamen berupa kain songket yang diselempangkan
menyilang pada masing-masing dada mereka. Tak ketinggalan pula sanggul yang
dihiasi pernak-pernik khas aceh melekat indah di masing-masing kepala. Siapakah
mereka? Tak lain dan tak bukan merupakan para penari cilik yang siap
menampilkan kesenian tari ranup lam puan untuk menyambut linto-baro beserta para rombongan. Diiringi
musik yang sudah dipersiapkan, mulailah mereka unjuk kebolehan.
para penari siap untuk beraksi |
Tak
sulit bagiku untuk menyebut nama penari itu satu per satu. Alasannya sungguh sederhana,
karena kami (mereka dan aku tentunya) hidup bertetangga. Raudhah misalnya,
rumahnya tepat disamping kanan rumahku, bahkan dinding rumah kami bersisian
pula. Demikian pula Masda, rumahnya persis didepan rumahnya si Raudhah, kurang
lebih 8 meter kedua rumah itu terpisah. Sementara Uswah, rumahnya di sebelah
kanan rumahnya si Raudhah, namun tak seperti halnya dengan rumahku dimana
dinding rumah kami bersisian, rumah mereka dipisahkan oleh ruas atau badan
jalan. Indah dan “sang ratu” Wulan, keduanya merupakan sepupuan sekaligus
merupakan cucu dari pemilik rumah yang berada di depan rumahku, agak serong ke
kiri sedikit. Adapula si Wira, sebagaimana halnya Indah, juga bersepupuan
dengan si Wulan. Jika hal itu tidak cukup bukti untuk mengatakan kami bertetangga,
baiklah kucoba terangkan saja bahwa rumah Wira ada di arah belakang rumahku,
agak serong kiri juga sedikit. Praktis hanya Nelvi dan Vivi saja yang tidak
demikian (baca : bertetangga), namun untuk memperpanjang sedikit cerita,
ternyata rumah Nelvi bersisian pula
dengan rumahnya Wira serta berdekatan dengan rumahnya Vivi. Itu berarti Vivi
dan Nelvi bertetangga. Nelvi bertetetangga pula dengan Wira, sementara Wira adalah
jiranku. Kesimpulannya sederhana, bahwa mereka (para penari itu) bulat-bulat
merupakan tetanggaku.
Umur
mereka memang masih sangat belia, tak berarti pula penampilannya biasa-biasa
saja. Sungguh, bakat mereka sangat luar biasa. Menari, melenggak lenggok bak
penari india. Semuanya menari menyambut sang linto-baro dengan penuh suka cita, meski bayaran yang mereka terima
mungkin tidaklah seberapa. Menyaksikan kenyataan ini, aku kemudian berniat di
dalam hati, kuberi mereka pelatihan bahasa Inggris pasca pesta ini. Meski aku tidak
bisa dalam jangka waktu yang lama, paling tidak itu ada walau hanya untuk
sekali-dua.
Akhirnya
tibalah rombongan di depan pintu. Nyan
katroeh dara baro ! demikian seruan terdengar dari dalam rumahku. Disambut
para encik dan endatu, dituntunlah mereka menuju ruang tamu. Linto-baro dipapah secara perlahan, lalu
keduanya disandingkan di atas pelaminan. Tak lupa kuarahkan lensa kamera ke
arah keduanya, sembari mendapatkan fokus kamera, dalam hati kemudian aku menyisipkan
doa “nanti, Insya Allah aku akan seperti ini juga, Amin”
Sebelum
mengakhiri cerita, aku ingin membuat sebuah pengakuan yang nilainya besar-kecil.
Kecil untuk sebuah ungkapan, besar untuk sebuah kejujuran. Aku memang harus
mengakui bahwa tulisan ini terinspirasi dari cerita dia, bahkan dengan judul
yang hampir relatif sama. Meski, ceritaku masih kalah kelas dibandingkan dengan
punyanya, aku harap tidak menyurutkan tekadku untuk menceritakannya. Aku memang
masih amatiran, dimana tulisanku belum
terstruktur. Namun disinilah aku belajar, untuk mencari, mengembangkan, dan
membentuk dan jati diri. Aku juga berdo’a, semoga aku bisa belajar langsung
dari dia yang menginspirasi cerita ini melalui tulisannya. Kedengaran aneh
memang, tapi apa salahnya aku mencoba atau hanya sekedar menitipkan doa. Bahwa
aku ingin menulis bersamanya. Menulis apa saja, tentang kata, rasa atau bahkan
cinta. Semoga, bila dia membaca tulisan ini dapat tersenyum bangga, bukan
sebaliknya yang menyinggung perasaannya. Sungguh aku tak berniat melakukan itu.
Sebelum aku lupa, sekali lagi aku ingin memberitahukannya, bahwa tulisannya
sudah berjasa. Bolehlah dia berbangga hati, kalau tulisannya itu mampu
menginspirasi, karena menulis memang untuk berbagi.